Politik Ekonomi Syariah
Perjuangan umat Islam terhadap formalisisasi syari'at Islam nampaknya belum juga surut. Penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta tidak menyurutkan semangat perjuangan umat Islam untuk mencita-citakan pemberlakukan syari'at Islam dalam berbagai lini kehidupan. Namun demikian wacana dan isu gerakan pemberlakuan syari'at Islam dimasa-masa sekarang berbeda dengan pada masa-masa sebelumnya.
Perdebatan seputar pemberlakuan syari'at Islam pasca kemerdekaan lebih terlihat sebagai upaya mendirikan negara Islam sehingga menuai kontroversi yang dikhawatirkan menyebabkan dis-integrasi bangsa. Perjuangan pemberlakuan syari'at Islam pada masa sekarang lebih bersifat kultural dan demokratis yakni upaya membumikan syari'at Islam secara substansif melalui proses taqnin ( perundang-undangan ).
Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan syari'at Islam secara filosofis sosiologis diakui keberadaannya di Indonesia. Lebih-lebih adanya jaminan UUD 45 yang memberikan legitimasi yuridis. Atas dasar tersebut maka tidaklah aneh jika bangunan sistem hukum nasional Indonesia terdiri dari tiga bahan baku hukum yakni hukum hukum kolonial, hukum adat dan hukum Islam.
Di Indonesia, wacana dan isu pemberlakuan hukum Islam dibidang ekonomi sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 70-an. Adanya gagasan pemberlakuan sistem ekonomi Islam pada saat itu tidak dikehendaki pemerintah, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa ekonomi syari'ah dari segi politis dianggap berkonotasi ideologis, yakni merupakan bagian atau berkaitan dengan konsep Negara Islam sehingga wajar adanya gagasan mengenai konsep ekonomi syari'ah pada saat itu belum mendapatkan legitimasi yuridis dari pemrintah.
Diperkenalkannya sistem ekonomi Islam di Indonesia adalah sebagai alternatif terhadap sistem ekonomi kapitalis yang selama ini dianggap gagal bahkan menggerogoti perekonomian bangsa. Sistem ribawi yang dipakai dalam sistem ekonomi kapitalis melahirkan sebuah sistem ekonomi yang tidak didasarkan pada basis kemitraan, sehingga akses terhadap bangunan ekonomi hanya dikuasai oleh para pemilik modal saja. Selain itu isu kemiskinan dan kesejahteraan rakyat sekalipun dalam tataran konsep menjadi bagian dari cita-cita sistem ekonomi kapitalis akan tetapi dalam tataran praktisnya tidak tersentuh sama sekali.
Seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan dan perkembangan sistem ekonomi syari’ah di Indonesia semakin hari semakin dirasakan kehadirannya baik dikalangan pelaku bisnis maupun dikalangan ummat Islam yang ingin menjadi muslim secara kaaffah. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya berbagai bentuk lembaga keuangan yang beroperasi secara syari'ah seperti Perbankan Syari'ah, Asuransi Syari'ah, Reksadana Syari'ah, Obligasi Syari'ah dan sebagainya.
Perkembangan yang signifikan tersebut tentunya menuntut sebuah konsekuensi untuk segara diterbitkannya sebuah regulasi yang dapat dijadikan payung hukum atau landasan yusridis dalam pelaksanaannya. Sehingga disamping diakui keberadaannya, sistem ekonomi syari'ah juga mendapatkan legitimasi yuridis dari pemerintah. Terbitnya sebuah aturan mengenai ekonomi syari'ah juga tergantung pada kebijakan yang dibuat oleh rezim yang sedang berkuasa yakni ada tidaknya sikap akomodatif pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengakomodir kepentingan umat islam tersebut.
Tuntutan terhadap pembentukan undang-undang yang mengatur ekonomi syari'ah merupakan perjuangan panjang umat Islam, karena disamping menuai kontroversi dan polemik, pemberlakuan sistem ekonomi syari'ah juga mendapatkan tantangan besar dalam tataran teknis dan praktisnya sehingga menuntut perjuangan keras dari praktisi dan akademisi untuk merumuskan sebuah konsep yang baik. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis akan mengkaji sejarah perjuangan pemberlakuan sistem ekonomi syari'ah di Indonesia ditinjau dari aspek politik hukum yang dimainkannya.
Lahirnya Sistem Ekonomi Syari'ah di Indoensia
Lahirnya sistem ekomoni syari'ah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh wacana dan isu global yang berkembang pada saat itu. Wacana sistem ekonomi Islam diawali dengan konsep ekonomi dan bisnis nonribawi. Wacana sistem ekonomi Islam sebenarnya secara komprehensif mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana dirumuskan oleh Umer Chapra. Namun dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam lebih identik dengan konsep keuangan dan perbankan. Gagasan mengenai penghentian praktik ribawi dalam lembaga perbankan konvensional memicu para pemikir ekonomi Islam terhadap potensi zakat, infaq dan shadaqoh dalam penghimpunan dana atau modal.
Berangakat dari pemikiran tersebut maka atas prakarsa Dr. Ahmad Najjar dibentuklah sebuah lembaga keuangan pedesaan yang bernama Bank Mit Ghamr di Mesir pada awal tahun 60-an, kemudian pada tahun 1973 diikuti oleh Philiphina yang mendirikan Bank Amanah dan Pakistan yang menghapuskan sistem tiga lembaga keuangan non bank, yaitu National Investment, House Building Finance Corporation dan Mutual Funds of the Investment Corporation untuk diganti dengan sistem non ribawi. Perkembangan tersebut terus berlanjut sampai pada tahun 1975 didirikan Islamic Development Bank (IDB) yang menjadi perkembangan perbankan Islam dibeberapa negara
Berdirinya Islamic Development Bank merupakan tonggak awal munculnya beberapa institusi perbankan syari'ah di beberapa negara. Di Indonesia munculnya isnstitusi perbankan syari'ah diawali dengan berdirinya lembaga keuangan yang menerapkan prinsip syari'ah, diantaranya Bait at-Tamwil sebuah lembaga koprasi yang beroperasi di Bandung pada tahun 1980, kemudian disusul dengan berdirinya Bank Perkreditan Syari'ah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, BPRS Amanah Rabaniah ketiganya beroperasi di Bandung pada tahun 1991. dan BPRS Hareukat yang beroperasi di Aceh yang kemudian mendorong didirikannya Bank Umum Syari'ah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 Mei 1991.
Regulasi Yang Dijadikan Landasan Hukum
Awal barjalannya sistem ekonomi syari'ah di Indonesia dapat dilihat dengan munculnya beberapa lembaga keuangan yang beroperasi secara syari'ah. Namun demikian kendati gagasan ini muncul pada awal tahun 70-an, ekonomi syari'ah belum mendapat sambutan baik dari pemerintah hal ini terlihat dengan tidak adanya regulasi yang dapat dijadikan sebagai landasan yuridis dan payung hukum bagi lembaga keuangan syari'ah di Indonesia. Menurut Gemala Dewi, bahwa munculnya lembaga keuangan syari'ah non ribawi baru beroperasi setelah mendapat legitimasi yuridis UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut secara ekplisit sudah mengakui keberadaan lembaga keuangan syari'ah, yang mana pada pasal 13 ayat (c) dijelaskan :
Bahwa salah satu usaha Bank Perkreditan Rakyat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Lebih lanjut ditegaskan dalam ketentuan pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992 yang berbunyi :
1. Bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan malakukan kegiatan usaha yang bersarkan prinsip bagi hasil.
Peluang yuridis terhadap beroprasinya perbankan yang beroperasi syari'ah dapat dirasakan semakin besar dengan munculnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Peluang secara yuridis tersebut semakin terbuka luas dengan dibukanya kesempatan bagi Bank Konvensional khususnya Bank Umum untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari'ah, asalkan membuka cabang khusus untuk melakukan kegiatan tersebut. Demikian juga sebaliknya bank umum yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syari'ah tidak dibenarkan melakukan kegitan uasaha secara konvensional meskipun dilakukan dengan cara membuka kantor cabang khusus perbankan konvensional.
Sementara untuk lembaga asuransi syari'ah pada awalnya masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian hanya saja undang-undang ini dianggap kurang mengakomodir asuransi syari'ah karena dalam regulasi tersebut tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syari'ah. Dengan kata lain UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syari'ah. Atas dasar itu maka dalam menjalankan usahanya, asuransi syari'ah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari'ah.
Namun demikian fatwa ini tidak memiliki kekuatan hukum karena fatwa DSN bukan bagian dari jenis peraturan perundag-undangan di Indonesia. Oleh karena itu untuk memberikan legitimasi yuridis terhadap keberadaan asuransi syari'ah maka beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah diantaranya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan perusahan Asuransi dan Perusahan Reasuransi. Dalam pasal 3 disebutkan :
Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syari'ah.
Keputusan Menteri diatas kemudian disusul dengan adanya regulasi Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 tentang kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi dan juga Keputusan Dirjen Lembaga Keuangan No. Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi dengan sistem syari'ah.
Sementara Muhammad Amin Suma menyatakan bahwa untuk mengantisipasi kekosongan hukum materil dibidang ekonomi dan keuangan syari'ah, Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 1999 telah membentuk Dewan Syari'ah Nasional yang diantara tugas pokok dan wewenangnya adalah mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan dan produk keuangan syari'ah, serta sekaligus mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Sejak mulai aktif bertugas hingga sekarang Dewan Syari'ah Nasional telah menghasilkan 60 fatwa tentang ekonomi dan keuangan syari'ah. Lebih lanjut Amin Suma menyatakan bahwa dalam perjalanannya fatwa Dewan Syari'ah Nasional pada akhirnya akan menjadi bagian dari hukum nasional atau paling tidak mendorong kehadiran hukum nasional dalam bidang ekonomi syari'ah, karena pada kenyataannya beberapa peruran Bank Indonesia terkait dengan lembaga keuangan syari'ah banyak merujuk kepada fatwa Dewan Syari'ah Nasional tersebut.
Polemik Seputar Sengketa Ekonomi Syari'ah
Sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan ekonomi syari'ah di Indonesia secara filosofis sosiologis sudah diakui keberadaanya di Indonesia. Lebih-lebih dengan adanya seperangkat aturan yang dijadikan landasan hukum penerapan dan operasi ekonomi syari'ah, hal ini semakin memperlihatkan serta memberikan peluang terhadap perkembangan ekonomi syari'ah dimasa yang akan datang.
Keberadaan regulasi mengenai ekonomi syari'ah merupakan wujud konkrit pemerintah dalam mengakomodir kepentingan dan keinginan umat Islam, yakni memberlakukan syari'at Islam dibidang ekonomi. Sekalipun beberapa peraturan mengenai ekonomi syari'ah sudah terbentuk namun demikian bahwa dalam tataran praktisnya masih memerlukan beberapa aturan teknis, dalam hal ini masih dibutuhkan seperangkat aturan yang secara khusus dan fokus memberikan legitimasi yuridis terhadap keberadaan lembaga ekonomi syari'ah.
Pada tahun ini pemerintah telah mengesahkan seperangkat regulasi tentang ekonomi syari'ah diantaranya, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari'ah Negara, dan dibentuk pula Peraturan Bank Indonesia Tahun 2008 tentang Bank Syari'ah dan Sertifikat Bank Indonesia Syari'ah. Wacana yang menarik dan sempat mengundang kontroversi adalah mengenai sengketa ekonomi syari'ah. Perdebatan seputar lembaga mana yang lebih memiliki otoritas untuk menangani sengketa ekonomi syari'ah terjadi pada pembahasan RUU Perbankan Syari'ah di parlemen. Dalam RUU tersebut pada pasal 52 disebutkan :
Penyelesaian sengketa pada perbankan syari'ah dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa :
Penyelesaian sengketa pada perbankan syariah dilakukan melalui pengadilan umum karena transaksi terkait dengan perbankan syariah bersifat komersial.
Menurut Ahmad Tholabi Kharlie pasal tersebut muncul karena ada dua kekeliruan mendasar, Pertama, secara yuridis pencantuman pasal ini dinilai ahistoris mengingat keberadaannya telah ditampung dalam Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang secara tegas menegaskan bahwa sengketa perbankan syari'ah merupakan kewenangan penuh institusi Pengadilan Agama. Sehingga upaya memberikan atau mengalihkan kewenangan tersebut kepada peradilan umum secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kedua payung hukum ini secara nyata telah melegitimasi kompetensi absolut Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan yang berwenang menangani perkara-perkara umat Islam dalam ranah hukum Islam termasuk di dalamnya ekonomi syariah. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (1) TAP MPR No III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang secara hierarki lebih tinggi.
Hal ini dapat pula diartikan bahwa dalam hierarki yang setara pun sejatinya tidak boleh bertentangan karena akan melahirkan kerancuan, bahkan kekacauan hukum. Inilah yang terjadi dalam RUU Perbankan Syariah, yakni Pasal 52 RUU Perbankan Syariah versus Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kedua, secara metodologis munculnya pasal 52 dalam RUU yang mengatur tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah dinilai kurang tepat atau salah tempat. Ketidaktepatan tampak dari perspektif aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, aturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan tidak dimasukkan dalam regulasi atau perundang-undangan dalam ranah rezim bisnis
Ekonomi Syari'ah dalam Lintasan Politik Hukum Islam
Keberadaan ekonomi syari'ah yang mampu membumi di bumi nusantara tidaklah terlepas dari perjuangan umat Islam untuk terus berupaya memformalisasikan syari'at Islam dalam berbagai lini kehidupan. Tuntutan agar keberadaan ekonomi syari'ah bisa diterapkan di Indonesia merupakan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Pada awal tahun 70-an kendati gagasan ini sudah muncul akan tetapi belum mendapatkan respon dari pemerintah, anggapan bahwa ekonomi syari'ah berkonotasi ideologis dalam artian tendensus pada upaya mendirikan negara islam nampaknya menjadi sebuah ketakutan bagi sebagian kalangan akan munculnya kembali semangat mendirikan negara Islam.
Namun demikian asumsi-asumsi ini dapat ditepis oleh umat Islam. Wacana pemberlakuan sistem ekonomi syari'ah bukan lagi ditendensikan pada persoalan pendirian negara Islam akan tetapi dianggap sebagai usaha mencari alternatrif terhadap sistem ekonomi kapitalis. Sistem ribawi yang diperkenalkan ekonomi kapitalis telah mengalami kegagalan dalam mewujudkan bangunan ekonomi yang bebasis kemitraan.
Keberadaan ekonomi syari'ah tidak hanya diakui oleh kalangan umat Islam saja. Pada perkembangannya sistem ekonomi syari'ah talah mampu menarik trust dari non muslim. Hal ini dapat dilihat dengan adanya jumlah nasabah dan investor bank syari'ah dari kalangan non muslim. Kendati motif mereka bukanlah didasarkan pada motif keimanan akan tetapi mereka memandang sistem ekonomi syari'ah lebih manusiawi, bahkan mampu bertahan terhadap adanya resesei ekonomi, sehingga mereka mempercayakan uang mereka untuk diinvestasikan dibeberapa lembaga keuangan syari'ah. Kemajuan yang cukup signifikan tersebut pada akhirnya menuntut dibentuknya sebuah paraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum beroperasinya beberapa lembaga keuangan syari'ah.
Menurut Muhammad Amin Suma, pemberlakuan ekonomi syari'ah di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya alasan agama, alasan sejarah, alasan penduduk, alasan yuridis, alasan kebutuhan kebutuhan masyarakat, alasan ekonomi, dan alasan akademis. Dari beberapa alsan tersebut jelaslah bahwa pemberlakuan sistem ekonomi syari'ah sudah memiliki landasan yang kuat sekalipun pada tataran praktis kontroversi seputar ekonomi syari'ah masih terjadi.
Perjuangan umat Islam terhadap pemberlakuan sistem ekonomi syari'ah pada awalnya hanya mendapatkan legitimasi fatwa dari Dewan Syari'ah Nasional yang dibentuk oleh MUI. Sekalipun dalam hirarki perundang-undangan fatwa bukan termasuk bagian dari perundangan-undangan dalam sistem hukum nasioanal, tetapi menjadi inspirasi dan rujukan dalam pembuatan paraturan Bank Indonesia terkait dengan regulasi lembaga keuangan syari'ah.
Berangkat dari hal tersebut maka para pemikir, ulama, dan cendekiawan muslim memperjuangkan beberapa produk undang-undang yang harus dibentuk oleh pemerintah. Sekalipun dalam perjalanannya cukup melelahkan akan tetapi telah menuai hasil. Dengan dikeluarkannya beberapa produk undang-undang seperti UU. No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah menambahkan kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari'ah, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah yang telah memberikan legitimasi yuridis terhadap Bank Syari'ah juga memperkuat posisi Dewan Syari'ah Nasional sebagai lembaga pemantau, dan yang terkahir Peraturan Bank Indonesia Tahun 2008 tentang Bank Syari'ah dan Bank Indonesia Syari'ah.
Lahirnya beberapa produk hukum diatas menjadi indikator akan sikap akomodatif pemerintah orde reformasi tarhadap aspirasi umat Islam, yakni cita-cita untuk memberlakukan sistem ekonomi syari'ah di Indonesia. Respon pemerintah terhadap aspirasi tersebut semakin membuka peluang akan keberadaan hukum Islam di Indonesia, yakni sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Penulis lebih sepakat jika perjuangan umat islam kedepan lebih ditekankan pada upaya pemberlakuan syari'at Islam secara substansif bukan pada upaya semangat mendirikan negara Islam dalam arti pemberlakukan syari'at secara sepenuhnya.
Prospek dan Tantangan Ekonomi Syari'ah
Meski terbilang lambat jika dibandingkan dengan negara-negara Islam dan negara –negara berpenduduk muslim lainnya, hingga tahun ini ada beberapa Bank Syari'ah seperti Bank Muamalat Indonesia, Bank Syari'ah Mandiri, Bank Mega Syari'ah dan 19 bank konvensional yang memiliki unit usaha syari'ah.
Demikian juga dengan lembaga asuransi syari'ah meskipun dibilang lambat keberadaannya, akan tetapi pertumbuhan asuransi syari'ah di Indonesia cukup signifikan, tercatat pada tahun 2007 jumlah perusahan asuransi yang beroperasi secara syari'ah sudah mencapai 130 perusahan asuransi syari'ah. Prospek yang sedemikian bagusnya, tentu sebanding dengan tantangan yang harus dihadapinya. Sebagaimana dikemukakan Warkum Sumitro, bahwa peluang beroperasinya lembaga-lembaga ekonomi syari'ah di Indonesia tersebut masih berupa potensi yang perlu ditangani secara serius agar menjadi kekuatan riil. Untuk itu perlu dikaji kendala dan tantangan-tantangannya. Diantara kendala-kendala terebut adalah :
1. Kualitas menegerial pengelola bank syari'ah masih terbatas sehingga akan berakibat pada rendahnya kualitas playanan pada masyarakat yang sekaligus akan memperlemah daya kompetitif bank syari'ah dengan bank konvensional.
2. Masyarakat sudah terlanjur dengan praktik-praktik perbankan konvensional. Sehingga untuk mengubah kebiasaan mereka dibutuhkan waktu yang cukup lama.
3. Bank Islam belum memiliki akses degan lembaga zakat, infak, dan shadaqah yang terbentuk sampai ke desa. Padahal lembaga tersebut berpotensi besar untuk dikembangkan lebih produktif.
4. Tantangan yang lebih barat adalah sejauh mana tingkat kesiapan bank syari'ah dalam mmemasuki pasar bebas.
Belum ada Komentar untuk "Politik Ekonomi Syariah"
Posting Komentar