Cara membangun Budaya Membaca dan menulis
Cara membangun Budaya Membaca dan menulis - Sejak SD hingga perguruan tinggi, semua orang diajar membaca dan menulis. Seorang lulusan SMA sudah dilatih selama 12 tahun membaca dan menulis. Buat mencatat pelajaran dan mengerjakan ulangan atau ujian, selalu dilakukan dengan membaca dan menulis. Sarjana memiliki pengalaman lebih panjang lagi dalam membaca, terutama menulis. Kelulusannya sangat ditentukan oleh karya tulisnya. Skripsi.
Oleh: Thomas Koten
Pada zaman Raja Babilonia Hamurabi, sekitar 1700 tahun Sebelum Masehi, sudah muncul karya tulis yang ditulis oleh sang raja. Kala itu, dikenal dengan Kode Hamurabi yang dijadikan sebagai aturan tertulis untuk mengelola masyarakat. Para filsuf besar Yunani kuno sekitar abad ketiga-kelima SM seperti Aristoteles, Plato dan Socrates, juga meninggalkan pemikiran-pemikiran hebat tertulis.
Demikian juga dalam hal membaca. Sekitar tahun 610 Masehi, Malaekat Jibril pun turun dari langit menemui lelaki 40 tahun yang tengah berkontemplasi alias bertapa di dalam gua batu di atas gunung. “Bacalah! Bacalah!” seru Jibril. Apa yang mesti dibaca, tentu bukan tulisan, melainkan fenomena alam. Dan mengenai fenomena atau tanda-tanda alam, nenek moyang kita juga pandai membaca dan memaknainya. Bahwa alam dan segala fenomenanya juga merupakan suatu karya tulis yang perlu dibaca.
Menulis, memperpanjang usia
Dan kita kini dapat menyelami pemikiran-pemikiran para pendahulu kita lewat segala hasil karya tulis mereka. Juga cara membaca, baik dalam bentuk karya tulis maupun tanda-tanda alam, yang oleh sang budayawan Dick Hartoko, dikenal dengan istilah Tanda-Tanda Zaman yang dimuat dalam majalah Basis. Dan dengan membaca buku-buku karya orang-orang besar di dunia, para bapa bangsa kita dapat mendirikan dan membentuk negara. Sebagaimana mana kita ketahui bangsa dan Negara ini lahir dari tumpukan ide yang dihasilkan paa pendiri bangsa yang gemar membaca, berdiskusi dan menulis.
Proklamator RI, Soekarno, memiliki hubungan intim dengan membaca dan menulis. Banyak sekali buku yang dibaca dan ditulisnya. Pidato-pidatonya yang hebat itu umumnya ditulisnya sendiri. Beliau mengakui merasa utang budi dengan orang-orang besar di dunia yang didapatnya lewat membaca buku-buku mereka. Di sebuah pameran buku di Jakarta pada 1950, Soekarno membocorkan rahasianya lewat tulisan di buku tamu: “Buku-buku adalah temanku. Di sana aku bertemu orang-orang besar. Pikiran-pikiran mereka menjadi pikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pendirianku.”
Lain lagi dengan Jorge Luis Borges (1899-1986), sastrawan Argentina, pernah membayangkan surga sebagai sejenis perpustakaan. Kegilaan Borges membaca buku membuat matanya hampir buta. Ajip Rosidi, seorang sastrawan dan budayawan kita, juga terkenal gila buku. Dari kegilaannya membaca buku dan segala karya tulis orang itulah, dikatakannya sebagai pemompa semangatnya menulis puluhan buku sastra dan budaya.
Pertanyaan, apakah kini di zaman teknologi komputer-internet ini akan terus tumbuh subur minat membaca dan menulis di kalangan masyarakat? Ingat, pentingnya membaca dan menulis menjadi tak terbantahkan. Dengan membaca dan menulis, kita dapat menguasai dunia. Dunia yang kini berada dalam genggaman teknologi komunikasi, tidak terlepas dari perkembangan budaya membaca dan menulis itu. Dalam lingkup terbatas untuk diri sendiri, dikatakan menulis dapat membantu mengangkat karier.
Sedangkan, untuk jangka panjang, menulis dapat membuat usia kita jauh lebih panjang. Kita bisa berkomunikasi dengan manusia di banyak zaman. Usia kita pun terasa jauh lebih panjang dari masa hidup kita sendiri. Dengan menulis kita dapat beramal mencerdaskan bangsa dari generasi ke generasi. Menulis juga dapat menjadikan kita terbebas dari beban hidup dan stress. Bahkan, menulis dapat mempertautkan pikiran dan hati yang teraktualisasi dalam komtemplasi dan pematangan diri.
Dan kini, masyarakat membaca dan menulis, sungguh ditantang dengan perkembangan teknologi internet. Habitus membaca dan menulis, diganti dan digiring memasuki jagat maya (cyberspace) beserta budaya maya (cybercultures). Sehingga, masyarakat kini terlahir dengan habitus baru, yaitu seperti membaca layar atau screen-reading. Dalam habitus atau budaya baru ini dituntut aneka keahlian lain, misalnya soal penguasaan bahasa asing, terutama Inggris. Juga, soal keterampilan dalam mengoperasikan program, membuka laman-laman di layar selancar. Tidak terabaikan kemampuan dalam memilah informasi (information) dan pengetahuan (knowledge).
Celakanya, lahirnya habitus baru-budaya teknologi ini di tengah masyarakat kita yang belum tumbuh subur dan kuat budaya membaca dan menulis. Budaya kita masih kental dengan budaya lisan. Teeuw (1994), menelusuri rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia. Kolumnis P Ari Subagyo, yang menelaah buku Teeuw dengan memaparkan ada empat tahap perkembangan budaya, yakni kelisanan murni, khirografik (mendengar kisah yang dibacakan) tipografik (membaca dan menulis) serta elektronik (mendengar dan menonton).
Menurut Teeuw, mayoritas masyarakat Indonesia memasuki tahap elektronik tanpa pembatinan atau pencernaan budaya baca dan tulis yang sungguh-sungguh. Saat budaya baca dan tulis belum kuat benar, mereka dimanjakan tradisi pascabaca (mendengar dan menonton), khas tahap elektronik. Budaya baca lalu teraborsi: belum tumbuh utuh, tetapi sudah harus mati. Maka, kehadiran internet dapat menjadi ironi kultural. Internet mensyaratkan tingginya budaya baca, tetapi menghampiri masyarakat Indonesia yang tunabudaya baca. Artinya, seperti kata P Ari Subagyo, meski banyak orang Indonesia menggunakan internet, hakikatnya mereka tidak menghidupi budaya baca karena sekadar melanggengkan budaya mendengar dan menonton jilid baru.
Penyakit di zaman internet
Di zaman internet, tak disadari, semakin memudarnya habitus dan budaya membaca dan menulis. Jutaan buku dan informasi ilmu pengetahuan di jagat maya memungkinkan pencarian pengetahuan secara instan. Anak-anak sekolah sekarang juga kebanyakan diberi tugas untuk mendapatkan pengetahuan secara instan dengan mengambilnya dari internet. Membaca buku konvensional pun mulai ditinggalkan. Budaya menonton di layar kaca dan budaya lisan lebih dikembangkan daripada budaya menulis. Penggunaan handphone telah sungguh-sungguh menyuburkan budaya lisan dan mulai mematikan budaya menulis.
Maka, bisa dibayangkan sejauh mana penguasaan ilmu pengetahuan oleh anak-anak kita di era facebook ini, lantaran semua diperoleh secara instan? Padahal, membaca dan menulis, kemudian menguasai ilmu pengetahuan yang paling baik adalah melalui membaca dan menulis, yang dilalui secara konvensional, bukan secara instan. Dan pudarnya etos membaca sebenarnya mengisyaratkan bencana besar, yakni runtuhnya pengelolaan pengetahuan (knowledge management) dan pembangunan pengetahuan (knowledge building) masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, jika ingin menguasai ilmu pengetahuan sebagai jalan menggenggam dunia, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan menguasai habitus membaca dan menulis secara konvensional yang didukung dengan penguasaan teknologi internet. Membaca dan menulis harus dijadikan sebagai budaya yang terus dibangun dan dikembangkan. Dan secara lebih bersahaja, adalah bahwa di tengah kemajuan teknologi internet yang memanjakan itu, masyarakat tetap menjadikan membaca dan menulis secara konvensional sebagai habitus dan/atau budaya yang mengasyikkan dan menjelma di jalan menuju kesempurnaan hidup. (***)
Penulis adalah Seorang penulis, pembelajar filsafat
Oleh: Thomas Koten
Pada zaman Raja Babilonia Hamurabi, sekitar 1700 tahun Sebelum Masehi, sudah muncul karya tulis yang ditulis oleh sang raja. Kala itu, dikenal dengan Kode Hamurabi yang dijadikan sebagai aturan tertulis untuk mengelola masyarakat. Para filsuf besar Yunani kuno sekitar abad ketiga-kelima SM seperti Aristoteles, Plato dan Socrates, juga meninggalkan pemikiran-pemikiran hebat tertulis.
Demikian juga dalam hal membaca. Sekitar tahun 610 Masehi, Malaekat Jibril pun turun dari langit menemui lelaki 40 tahun yang tengah berkontemplasi alias bertapa di dalam gua batu di atas gunung. “Bacalah! Bacalah!” seru Jibril. Apa yang mesti dibaca, tentu bukan tulisan, melainkan fenomena alam. Dan mengenai fenomena atau tanda-tanda alam, nenek moyang kita juga pandai membaca dan memaknainya. Bahwa alam dan segala fenomenanya juga merupakan suatu karya tulis yang perlu dibaca.
Menulis, memperpanjang usia
Dan kita kini dapat menyelami pemikiran-pemikiran para pendahulu kita lewat segala hasil karya tulis mereka. Juga cara membaca, baik dalam bentuk karya tulis maupun tanda-tanda alam, yang oleh sang budayawan Dick Hartoko, dikenal dengan istilah Tanda-Tanda Zaman yang dimuat dalam majalah Basis. Dan dengan membaca buku-buku karya orang-orang besar di dunia, para bapa bangsa kita dapat mendirikan dan membentuk negara. Sebagaimana mana kita ketahui bangsa dan Negara ini lahir dari tumpukan ide yang dihasilkan paa pendiri bangsa yang gemar membaca, berdiskusi dan menulis.
Proklamator RI, Soekarno, memiliki hubungan intim dengan membaca dan menulis. Banyak sekali buku yang dibaca dan ditulisnya. Pidato-pidatonya yang hebat itu umumnya ditulisnya sendiri. Beliau mengakui merasa utang budi dengan orang-orang besar di dunia yang didapatnya lewat membaca buku-buku mereka. Di sebuah pameran buku di Jakarta pada 1950, Soekarno membocorkan rahasianya lewat tulisan di buku tamu: “Buku-buku adalah temanku. Di sana aku bertemu orang-orang besar. Pikiran-pikiran mereka menjadi pikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pendirianku.”
Lain lagi dengan Jorge Luis Borges (1899-1986), sastrawan Argentina, pernah membayangkan surga sebagai sejenis perpustakaan. Kegilaan Borges membaca buku membuat matanya hampir buta. Ajip Rosidi, seorang sastrawan dan budayawan kita, juga terkenal gila buku. Dari kegilaannya membaca buku dan segala karya tulis orang itulah, dikatakannya sebagai pemompa semangatnya menulis puluhan buku sastra dan budaya.
Pertanyaan, apakah kini di zaman teknologi komputer-internet ini akan terus tumbuh subur minat membaca dan menulis di kalangan masyarakat? Ingat, pentingnya membaca dan menulis menjadi tak terbantahkan. Dengan membaca dan menulis, kita dapat menguasai dunia. Dunia yang kini berada dalam genggaman teknologi komunikasi, tidak terlepas dari perkembangan budaya membaca dan menulis itu. Dalam lingkup terbatas untuk diri sendiri, dikatakan menulis dapat membantu mengangkat karier.
Sedangkan, untuk jangka panjang, menulis dapat membuat usia kita jauh lebih panjang. Kita bisa berkomunikasi dengan manusia di banyak zaman. Usia kita pun terasa jauh lebih panjang dari masa hidup kita sendiri. Dengan menulis kita dapat beramal mencerdaskan bangsa dari generasi ke generasi. Menulis juga dapat menjadikan kita terbebas dari beban hidup dan stress. Bahkan, menulis dapat mempertautkan pikiran dan hati yang teraktualisasi dalam komtemplasi dan pematangan diri.
Dan kini, masyarakat membaca dan menulis, sungguh ditantang dengan perkembangan teknologi internet. Habitus membaca dan menulis, diganti dan digiring memasuki jagat maya (cyberspace) beserta budaya maya (cybercultures). Sehingga, masyarakat kini terlahir dengan habitus baru, yaitu seperti membaca layar atau screen-reading. Dalam habitus atau budaya baru ini dituntut aneka keahlian lain, misalnya soal penguasaan bahasa asing, terutama Inggris. Juga, soal keterampilan dalam mengoperasikan program, membuka laman-laman di layar selancar. Tidak terabaikan kemampuan dalam memilah informasi (information) dan pengetahuan (knowledge).
Celakanya, lahirnya habitus baru-budaya teknologi ini di tengah masyarakat kita yang belum tumbuh subur dan kuat budaya membaca dan menulis. Budaya kita masih kental dengan budaya lisan. Teeuw (1994), menelusuri rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia. Kolumnis P Ari Subagyo, yang menelaah buku Teeuw dengan memaparkan ada empat tahap perkembangan budaya, yakni kelisanan murni, khirografik (mendengar kisah yang dibacakan) tipografik (membaca dan menulis) serta elektronik (mendengar dan menonton).
Menurut Teeuw, mayoritas masyarakat Indonesia memasuki tahap elektronik tanpa pembatinan atau pencernaan budaya baca dan tulis yang sungguh-sungguh. Saat budaya baca dan tulis belum kuat benar, mereka dimanjakan tradisi pascabaca (mendengar dan menonton), khas tahap elektronik. Budaya baca lalu teraborsi: belum tumbuh utuh, tetapi sudah harus mati. Maka, kehadiran internet dapat menjadi ironi kultural. Internet mensyaratkan tingginya budaya baca, tetapi menghampiri masyarakat Indonesia yang tunabudaya baca. Artinya, seperti kata P Ari Subagyo, meski banyak orang Indonesia menggunakan internet, hakikatnya mereka tidak menghidupi budaya baca karena sekadar melanggengkan budaya mendengar dan menonton jilid baru.
Penyakit di zaman internet
Di zaman internet, tak disadari, semakin memudarnya habitus dan budaya membaca dan menulis. Jutaan buku dan informasi ilmu pengetahuan di jagat maya memungkinkan pencarian pengetahuan secara instan. Anak-anak sekolah sekarang juga kebanyakan diberi tugas untuk mendapatkan pengetahuan secara instan dengan mengambilnya dari internet. Membaca buku konvensional pun mulai ditinggalkan. Budaya menonton di layar kaca dan budaya lisan lebih dikembangkan daripada budaya menulis. Penggunaan handphone telah sungguh-sungguh menyuburkan budaya lisan dan mulai mematikan budaya menulis.
Maka, bisa dibayangkan sejauh mana penguasaan ilmu pengetahuan oleh anak-anak kita di era facebook ini, lantaran semua diperoleh secara instan? Padahal, membaca dan menulis, kemudian menguasai ilmu pengetahuan yang paling baik adalah melalui membaca dan menulis, yang dilalui secara konvensional, bukan secara instan. Dan pudarnya etos membaca sebenarnya mengisyaratkan bencana besar, yakni runtuhnya pengelolaan pengetahuan (knowledge management) dan pembangunan pengetahuan (knowledge building) masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, jika ingin menguasai ilmu pengetahuan sebagai jalan menggenggam dunia, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan menguasai habitus membaca dan menulis secara konvensional yang didukung dengan penguasaan teknologi internet. Membaca dan menulis harus dijadikan sebagai budaya yang terus dibangun dan dikembangkan. Dan secara lebih bersahaja, adalah bahwa di tengah kemajuan teknologi internet yang memanjakan itu, masyarakat tetap menjadikan membaca dan menulis secara konvensional sebagai habitus dan/atau budaya yang mengasyikkan dan menjelma di jalan menuju kesempurnaan hidup. (***)
Penulis adalah Seorang penulis, pembelajar filsafat
Sumber : http://www.metrosiantar.com/2012/membangun-budaya-baca-menulis/
Belum ada Komentar untuk "Cara membangun Budaya Membaca dan menulis"
Posting Komentar