MAKALAH FEMINISME (feminis)

Berjumpa lagi agan-agan, kali ini saya share tentang MAKALAH FEMINISME. Sebuah pengetahuan sangatlah baik jika ditularkan dan berkembang untuk menjadi lebih berpengetahuan dan bermanfaat, dalam makalah ini nantinya kita dapat memahami dan mengerti Feminisme. Makalah feminisme untuk agan-agan semua.

BAB I
PENDAHULUAN

Setiap produk tafsir pasti memiliki paradigma  tertentu, yang membedakan dari produk tafsir lainnya. Paradikma tafsir peminis adalah sebuah genre (tipe) tersendiri  yang muncul di era kontenporer ketika isu gender menjadi isu global. Paradigma ini berangkat dari asumsi  bahwa  prinsip dasar al-Qur’an dalam relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kepantasan (al-ma’ruf), musyawara (syura). Sehingga produk-produk penafsiran klasik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut akan dinilai tidak tepat, terutama diterapkan untuk konteks  kekiniaan, sebab situasi dan kondisinya jelas berbeda sama sekali dengan zaman dulu.

Model analisis yang digunakan dalam paradigma tafsir feminis adalah analisis gender, yang secara tegas membedakan antara kodrat sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah, dengan gender sebagai kontruksi sosial yang bisa berubah. Wajar jika kemudian pendekatan  hermeneutik dengan metode tafsir tematik akhirnya menjadi pilihan dalam mengkaji ayat-ayat tentang relasi gender. Sebab dengan metodologi seprti itu, diharapkan produk tafsir akan lebih  intersubyektif dan kritis melihat problem relasi gender.

Menyadari bahwa interaksi terhadap produk paradigm tafsir al-Qur’an yang bias gender akan menjadi mode of conduct ( pola perilaku) tertentu, maka merubah paradigma menjadi sebuah keniscayaan. Sebab memang ada hubungan positif antara pola pikir (mode of thought) masyarakat yang terbentuk melalui teks-teks agama dengan pola perilaku mereka(mode of conduct). Teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiki, tasawuf dan sebagainya yang dikomsumsi masyarakat  jelas ikut mempengaruhi pola perilaku masyarakat. Artinya , jika paradikma tafsir  yang dikomsumsih tersebut bersifat  deskriminatif terhadap perempuan, maka perilaku masyarakat juga cenrung  deskriminatif.

Untuk itu , diperlukan semacam “dekonstruksi” dan pergeseran paradigma terhadap model tafsir patriakhis yang cenrung meminggirkan peranan kaum perempuan. Sebab ternyata pergeseran paradigm tafsir memiliki implikasi dalam merekontuksi sosial, tak terkecuali dalam masalah-masalah peremuan. Demikian salah satu tesa yang dikutip penulis  ketika melihat sejarah perkembangan epistemologi tafsir al-Qur’an.
BAB II   
PEMBAHASAN

            Secara normatif-teologis, kebenaran al-Qur’an mutlak, namun ketika al-Qur’an ditafsirkan maka akan menjadi kebenaran relatif. Para feminis memiliki gagasan baru terkait dengan status dan peran perempuan berdasarkan al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan prinsip yang berbeda dari pendapat generasi sebelumnya. Gagasan baru ini merupakan landasan filosofis yang menjadi pijakan bagi para feminis sebagai landasan teoritis dalam mengembangkan pemikiran yang baru mengenai perempuan dalam Islam.

Paradigma tafsir feminis ini akan bertabrakan dengan paradigm lama dalam penafsiran klasik yang selama ini menganggap ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi gender sebagai ayat yang suda mapan dan pasti penafsirannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu produk penafsiran sesungguhnya merupakan imbas dari model paradigma yang digunakan oleh para mufassir. Oleh karena itu, feminis melahirkan suatu produk tafsir yang lebih mencerminkan nuansa kesetaraan yang membentuk paradikma baru dalam memaknai al-Qur’an.
Yang menjdi dasar-dasar pemikiran feminis melahirka gagasan baru yaitu:

A.     Pintu ijtihad tetap terbuka.
            Pada pertengahan abad keempat hijriah, para ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Dengan terjadinya kontak antara dunia Islam dengan kebudayaan Eropa, timbullah kesadaran baru bahwa dengan ditutupnya pintu ijtihad, ilmu pengetahuan serta kebudayaan umat Islam mengalami stagnasi(keadaan berhenti). Maka sejak saat itu lahirlah para pembaharu yang merekomendasikan terbukanya kembali pintu ijtihad.

            Secara teoritis para ulama sebagian besar mengakui ijtihad sebagai sumber hukum yang ke tiga setelah Al Qur'an dan hadis, akan tetapi pada tataran aplikatif hal ini sama sekali berbeda. Dengan persyaratan yang ditetapkan bagi seorang mujtahid, maka mustahil akan muncul seorang mujtahid mustaqil yang memenuhi kriteria yang diterapkan pada kitab-kitab ushul klasik.

            Di samping itu ruang gerak dan jangkauan ijtihad juga dipersempit. Ijtihad hanya boleh dilakukan pada ayat-ayat zanni dan tidak dapat diterapkan pada ayat-ayat yang bersifat qad'i. Yang menjadi persoalan adalah mengenai penetapan antara ayat-ayat yang bersifat qad'i dan  yang zanni itu sendiri. Terkait dengan ayat-ayat jender, kaum tradisionalis mengklaimnya sebagai ayat yang qad'i, sehingga tidak dapat dilakukan reinterpretasi terhadapnya. Dalam hal ini para feminis muslim berusaha untuk melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi terhadap pemahaman ajaran Islam yang dianggap tidak relevan dengan perubahan tempat dan zaman.

B.     Melepaskan diri dari keterikatan masa lalu
            Bagi kalangan tradisionalis maupun neo konservatif, ajaran Islam tentang kedudukan perempuan, hak dan kedudukan mereka telah ditata rapi dan lengkap oleh Al Qur'an, sunnah dan ijtihad para ulama masa lalu sehingga menjadi blue printmasyarakat muslim yang harus diterapkan sepanjang zaman. Ketika ada yang mempertanyakan hal tersebut dan berusaha untuk melakukan modifikasi maka mereka mencurigainya sebagai suatu tindakan perusakan terhadap sendi-sendi ajaran-ajaran Islam.

            Harun Nasution mengisyaratkan agar umat Islam berpikir liberal yang berarti melepaskan diri dari tradisi dan penafsiran pada abad pertengahan. Menurutnya pemikiran dan penafsiran tidak bersifat mutlak karena penafsiran terikat pada zamannya. Senada dengan pendapat itu, Munawir Sadzali mengutip kata-kata Muhammad Abduh bahwa kita wajib membebaskan diri dari belenggu taqlid. Dia menekankan perlunya reaktualisasi ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya persoalan perempuan yang menurutnya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

C.     Perubahan zaman dapat melahirkan perubahan ajaran

            Menurut Harun Nasution, agama dan masyarakat memiliki pengaruh timbal balik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat mempengaruhi pemahaman terhadap agama. Dalam kehidupan keluarga misalnya, ajaran dasar Al Qur'an mempengaruhi perkawinan, perceraian dan poligami. Ketiganya mempengaruhi sistem keluarga umat Islam, namun penerapannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

            Masih menurut Harun, kebudayaan masa lampau mengenai perempuan mempengaruhi ajaran agama mengenai cara pelaksanaan pernikahan, perceraian dan poligami. Dengan perubahan kebudayaan di masa kini menyebabkan perubahan dalam  ketiga hal di atas. Dia menyatakan bahwa kitab-kitab fiqh yang kini beredar adalah produk dari ulama klasik yang berijtihad untuk zamannya. Sementara zaman ketika kitab-kitab fiqh tersebut ditulis dengan zaman sekarang sudah terjadi perubahan pesat, sehingga perlu diadakan reinterpretasi terhadap kitab-kitab tersebut.

D.    Superioritas akal atas wahyu
            Harun mengklaim bahwa manusia dengan akalnya telah dapat menjalankan hidupnya di dunia, sebab akal dapat membedakan antara perbuatan jahat dan baik. Oleh karena itu manusia dapat menciptakan peraturan, hukum dan sanksi-sanksinya. Dengan kemampuan akal membedakan budi pekerti, manusia dapat membuat norma-norma yang hars dipatuhi sesama manusia, sehingga mereka tidak perlu menunggu wahyu untuk mengatur hidup kemasyarakatannya. Wahyu turun untuk menyempurnakan peraturan yang dibuat oleh akal manusia.

            Munawir Sadzali menjelaskan bahwa dalam rangka menentukan hukum dan perubahan serta dasar pertimbangan kearah tersebut, Allah telah memberikan kewenangan untuk mempertimbangkannya melalui akal budi manusia. Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa untuk memperbaharui pemahaman agama yang harus dilakukan adalah membebaskan diri dari belenggu taqlid dan kembali kepada metode pemahaman sebelum terjadinya ikhtilaf.

            Untuk menghindari bahaya anarki berpikir, Munawir mengusulkan hendaknya pemanfaatan akal itu dilakukan ecara kolektif, dengan melibatkan para ulama di berbagai ilmu terkait. Dalam memahami ajaran Islam tidak  terikat dengan arti harfiyah dari ayat dan hadis dengan tetap mengacu pada maqasid al tasyri' yang bertalian dengan penegakan dan pemerataan keadilan, kebaikan serta kemaslahatan bagi asyarakat umum.

E.     Maslahat sebagai tujuan syari'at Islam
            Para feminis juga melandasi pemikirannya denga pendapat bahwa kemaslahatan merupakan tujuan dari ditetapkannya syari'at Islam. dalam hal ini Munawir Sadzali merujuk pendapat Al Thufi yang mendahulukan maslahat atas nas dan ijma'. Pendapat ini berpangkal pada konsep maqasidu al tasyri' yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan dengan tujuan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia.

            Terkait dengan hal di atas, Ibrahim Husein mendiskripsika 4 poin yang melandasi pemikiran al Thufi tersebut. Pertama, akal semata tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburuka. Akan tetapi ia membatasi kemandirian akal hanya dalam hal muamalah dan adat istiadat, ia melepas ketergantungan pada nas baik dan buruk dalam kedua bidang tersebut. Kedua, maslahat merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada konfirmasi nas, namun pada akal semata.Ketiga, maslahat hanya dijadikan dalil dalam hal muamalat dan adat istiadat saja, sedangkan dalam hal ibadah dan muqaddarat maslahat tidak dapat digunakan sebagai dalil. Keempat, aslahat merupakan dalil syar'i yang terkuat. Ia bukan hanya semata-mata  hujjah ketika tidak ada nas dan ijma', akam tetapi ia harus didahulukan atas nas dan ijma' pada saat terjadi pertentangan antara keduanya.

F.      Keadilan sebagai dasar kemaslahatan
            Islam memiliki misi universal, yaitu menegakkan keadilan demi tercapainya kemaslahatan umat manusia yang juga merupakan tujuan dari diterapkannya syari'at Islam. Pesan universal ini tercantum secara jelas dalam Al Qur'an serta berlaku dalam setiap tempat dan waktu. Sementara ukuran keadilan akan berbeda dari masa ke masa dan antara satu tempat dengan tempat lain. Sebagai contoh, anak perempuan mendapat bagian harta waris setengah dari anak laki-laki pada saat Al qur'an diturunkan merupakan wujud dari suatu keadilan, mengingat sebelumnya perempuan tidak mendapatkan sedikitpun dari bagian harta waris. 

Dengan perubahan zaman yang disertai dengan perubahan kedudukan perempuan dalam sistem masyarakat, maka nilai dan ukuran keadilan itupun sudah selayaknya turut berubah. Hal ini nampak dalam tindakan kaum muslim yang membagi harta warisan sebelum waktunya, dengan kata lain memberikannya dalam bentuk hibah. Bagi kaum feminis hal ini merupakan indikasi dari ketidakpuasan masyarakat dengan hukum Islam dalam kaitannya dengan mawaris yang selama ini dipahami secara tekstual. Dengan alasan ini maka kaum feminis menawarkan suatu solusi metode kontekstualisasi dan reaktualisasi dalam pemahaman ayat al Qur'an. Menurut mereka pembagian yang tersurat dalam Al Qur'an merupakan cara Al Qur'an untuk mewujudkan keadilan. Jika keadilan dirasa tidak dapat dicapai dengan ketentuan tersebut, maka manusia memiliki wewenang untuk menyamaratakan pembagian.



BAB III
KESIMPULAN
Pemikiran para feminis adalah adanya upaya untuk membongkar pemikiran lama dan mitos-mitos lama yang disebabkan oleh penafsiran bias-bias patriarkhi. Mitos-mitos dan penafsiran bias patriaki dapat menyebabkan ketidak adilan gender dalam kehidpan masyarakat, yang sesungguhnya tidak sejalan dengan prinsip dasar dan spirit al-Qur’an. Walaupun pemikiran ini mendekati kesempurnaan namun tetap saja pemikiran ini masih memiliki kekurangan apalagi pemikiran ini timbul atas dasar sebuah persoalan sehinggan pemikiran ini terkesan adanya keterpihakan, sehingga tidak jarang orang yang kurang setuju dengan adanya pemikiran ini apalagi bagi mereka yang meras diuntungkan dari budaya patriarkhi.


DAFTAR PUSTAKA
Muhakbarilyas (2012). studi islam dengan pendekatan feminis. From http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/05/studi-islam-dengan-pendekatan-feminis.html, 25 mei 2012
Mustaqim, Abdul (2008). Paradikma tafsir feminis, Studi pemikiran riffat hasan tentang isu gender dalam islam. Yogyakarta: logung pustaka.

Belum ada Komentar untuk "MAKALAH FEMINISME (feminis)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel