Hukum Islam di Indonesia
Historis Hukum Islam di Indonesia
A. Latar Belakang masalah
Walaupun merupakan bagian integral syari’ah Islam dan memiliki peran signifikan, kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian besar kalangan beranggapan, tidak kurang diantaranya kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off to date dalam konsep hokum Islam.Ketakutan ini akan semakin jelas adanya apabila mereka membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.
Kesan di atas akan semakin jelas terlihat pada arah baru perkembangan hukum pidana Islam, berbagai kalangan menganggap hukum pidana tersebut memiliki banyak muatan illegal sehingga membutuhkan reformasi dalam konsepnya[1]. Sebagian yang lain, dengan logika yang lebih santun, menggagas reinterpretasi doktrin hukum Islam.Hukum Islam membutuhkan penyegaran dan membutuhkan penafsiran baru agar lebih sesuai dengan perkembangan modern.Demikian pesan yang diberikan Syahrur dengan konsep Had al-‘A’la- nya[2].
Bagaimana dengan perkembangan hukum pidana Islam di Indonesia? Pertanyaan ini sudah seharusnya diajukan sebab kedudukan hukum perdata Islam telah terjalin secara luas dalam hukum positif[3], baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan keperdataan, bahkan tercakup dalam lingkup hokum substansial dari UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.Sedang hukum Islam dibidang kepidanaan- untuk menyebut lain dari hukum pidana Islam- belum mendapat tempat seperti bidang hukum keperdataan Islam.Selain itu, berbagai kajian akademik yang ada seringkali bersifat politis dan memperlebar jarak pemahaman hukum pidana positif dengan hukum Islam bidang kepidanaan.
Dalam perspektif makro-historis, kemajemukan hukum merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dihindarkan.Mazhab Posivisme berpendapat, bahwa: the development of law formalized for the sake of the law only.Kalangan ini menolak keras campur tangan politik dalam hukum, hukum demi hukum, ilmu hukum berbentuk value-free science sedangkan ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu sosial berbentuk value-loaded science.Dalam pandangan kelompok ini prosedur penemuan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum berjalan dalam bingkai aparat hukum an sich, hukum hanya dapat ditemukan melalui keputusan hakim saja.Adapun proses pembentukan hokum dibatasi pada produk legitimator yang disahkan undang-undang[4]. law is a command of the law giver[5].
Mazhab hukum di atas sudah tentu memiliki kontradiksi dengan mazhab lain, yakni mazhab sosiologis[6]. Dalam pandangan mazhab ini, the contruction of law constructed and formalized for the sake of social interest.Jadi hukum harus melayani masyarakat. Oleh sebab itu, hakim tidak dapat menggarap kebutuhan hidup secara memuaskan hanya dengan konstruksi logika hukum semata.Hakim, sebagai penegak hukum dan keadilan, berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.Selain itu, untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta[7].
Dalam perkembangan selanjutnya, mazhab legisme ternyata lebih dominan dalam penemuan hukum pidana Indonesia.Hal ini dapat kita ketahui dari intensitas perundangan yang dilahirkan otoritas politik lebih banyak dibandingkan dengan undang-undang yang diusulkan oleh masyarakat.Sebagai konsekwensi dari realitas ini, cita hukum yang terdapat dalam masyarakat sangat sulit terpenuhi. Masyarakat adalah objek hukum, bukan subjek yang memiliki kepentingan atas hukum.Tidak terkecuali diantaranya adalah meningkatnya gejala implantasi norma-norma hukum Islam di Indonesia.
Peraturan-peraturan yang terdapat dalam Islam sangat unik dan sangat berbeda dengan peraturan hukum pada umumnya.Perbedaan yang menyolok ini muncul dari integrasi masalah privat dan publik dalam satu pembahasan[8], integrasi hukum dengan norma agama, dan integrasi kompetensi pelaksana dan penafsir hukum sekaligus[9]. Dengan demikian, dapat kita pahami jika formal hukum yang terdapat dalam ketentuan Islam selalu berbeda-beda, baik dalam hal ikatan waktu maupun ruang juridiksinya.Perbedaan yang terdapat dalam formal hukum Islam inilah yang menyebabkan akomodasi permasalahan hukum selalu disikapi elastis[10].
Beberapa sifat perbedaan di atas berakibat langsung pada akomodasi kaum Muslimin terhadap berbagai persoalan pidana.Pada umumnya, sikap akomodasi hukum Islam, mengikuti mains tream pemikiran dewasa ini, dibagi dalam dua kelompok besar.Pertama, kelompok Islam literal yang meyakini hukum Islam mencakup teknis formal dan material hukum secara mutlak.Kelompok ini berkeinginan melaksanakan hukum Islam sebagai satu totalitas kewajiban[11], sehingga bentuk pelaksanaan akomodasi hukum kalangan literal ini lebih bersifat justifikasi terhadap perbuatan hukum[12]. Kedua, kalangan Islam liberal yang menganggap hokum Islam mengatur semangat moral Tuhan. Kelompok ini menafikan formalitas dan materiil hukum[13]. Dalam pandangan kelompok ini, pelaksanaan hukum Islam cukup dengan mengakomodasi batasan-batasan etik hukum saja[14].Walaupun terkesan sederhana, taxonomi praktek hukum Islam di atas memiliki berbagai keterbatasan, sebab memahami praktek hukum Islam di suatu wilayah tidak dapat dipisahkan dengan memahami karakter penyebaran Islam.
Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya[15]. Oleh sebab itu, untuk membicarakan perkembangan hukum Islam di Indonesia erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia.Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra penjajahan dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia.
Dalam proses penyebaran Islam di Indonesia, terdapat dua pendekatan tentang metode penyebaran agama.Pendekatan pertama adalah : Akulturasi pragmatis budaya Indonesia.Melalui pendekatan ini budaya Indonesia diupayakan bercorak Islam, upaya akulturasi ditempuh oleh kalangan elit Islam awal yang menyebarkan Islam di Indonesia.Kalangan ini biasanya berasal dari kalangan pedagang dan para pengelana yang kebetulan singgah di Nusantara.Penyebaran hukum Islam yang dipraktekkan pedagang tidak semata-mata berupa doktrin dan ajaran-ajarannya saja, tetapi langsung pada aplikasi dogma hukum-hukumnya.Sehingga, menimbulkan kebiasaan baru bagi warga pribumi yang bercirikan Islam.
Kuatnya proses akulturasi hukum Islam dan adat pribumi dapat kita ketahui dari berbagai pepatah adat yang menempatkan syariat Islam sebagai akar perilaku sosial yang berkembang dalam masyarakat, seperti apa yang tampak pada pepatah adat daerah Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Adat bersendi syara dan syara bersendi kitabullah). Dari pepatah adat tersebut tersirat pengertian bahwa masyarakat Minangkabau menempatkan al-Qur’an sebagai dasar bagi pengaturan tingkah laku sosial dan sebagai sumber hukum yang menjadi pedoman dalam berbagai segi kehidupan sosial.Dalam pepatah lain disebutkan pula: Adat dan syarak sanda-menyanda, syarak mengato adat memakai (Adat dan syara’ saling menopang, syara’ menyatakan adat memakaikan).Ini berarti adat dan hukum Islam saling menguatkan.Gejala akulturasi serupa banyak kita jumpai pada masyarakat adat Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan daerah-daerah lain di Nusantara yang mayoritas penduduknya beragama Islam[16].
Selain proses akulturasi pragmatis yang dirintis para penyebar Islam awal, proses legalisasi-dogmatis hukum Islam juga nampak diberbagai kerajaan Islam Nusantara.Pergeseran praktek akulturasi kepada legalisasi hukum Islam terjadi pasca pendirian berbagai kerajaan Islam di Nusantara.Kalangan elit kerajaan menggunakan kekuatan, birokrasi dan hegemoni kultur politik dalam proses internalisasi norma Islam[17]. Praktek birokrasi hukum Islam dapat kita ketahui dari legalisasi hukum Islam yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Islam Indonesia.Misalnya, apa yang ditulis oleh Ibn Batutah mengenai hukum Islam di Ace Menurut Ibnu Batutah, Sultan al-Malik al-Zahir tidak dapat dipandang sebagai figur raja semata.Selain sebagai raja, sultan juga seorang ahli fiqih mashab Syafi’i yang banyak dianut masyarakat Pasei hal senada juga disampaikan Marcopollo ketika singgah di Peurela (Perlak). Sultan telah mendamaikan adat Istiadat Aceh dengan ajaran Islam[18] dan praktek positivasi hukum Islam ala kerajaan Islam Aceh inilah yang mempunyai pengaruh besar kepada praktek hukum Islam di kerajaan-kerajaan Islam Indonesia[19].
Selain praktek legalisasi hukum Islam ala Aceh[20], seorang mufti kerajaan Islam Banjar, Syeh Arsyad Banjari, juga melakukan legalisasi hukum Islam melalui buku Sabil al-Muhtadin.Kasus serupa juga kita ketahui legalisasi kitab simbur cahaya yang terdapat di Kesultanan Palembang.Selain tiga kerajaan di atas kerajaan Islam Banten juga melakukan legalisasi hukum Islam yang dijadikan rujukan umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum mereka[21]. Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh kaum muslimin di beberapa kerajaan, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel dan kemudian Mataram[22]. Seperti ditemukannya beberapa kitab hukum antara lain Kutaragama dan Sajin al-Hukm[23].
Segregasi akulturasi pragmatis dan legalisasi dogmatis hukum Islam nampaknya berakhir setelah keberhasilan pangeran Ransang melakukan perubahan doktrin politik kerajaan Mataram[24]. Misalnya, legitimasi pemerintahan seorang raja diperoleh dari Tuhan[25], raja merupakan wakil Tuhan di bumi[26], oleh sebab itu, seluruh yang ada di bumi harus taat dan tunduk kepada raja[27]. Sedangkan peraturan-peraturan kerajaan harus sejalan dengan kehendak tuhan yang bersumber dari al-Qur’an dan rasulnya[28].
Sebagai konsekwensi dari legitimasi nomokrasi tersebut, Seorang raja ideal adalah seseorang yang memiliki otoritas perintah dan kompetensi hukum yang tidak terbatas, sabda seorang raja dianggap bentuk komunikasi tuhan kepada ummatnya, sabda atau keputusan raja diikuti tanpa perlu judicial review apakah sabda tersebut sesuai atau tidak terhadap akar masalah[29] Konsep sabda pendika ratu muncul sebagai akibat dari legitimasi raja dalam pandangan masyarakat Indonesia berasal dari wahyu tuhan yang diberikan kepada hambanya yang terpilih[30].
Walaupun pada hakekatnya banyak kerajaan Islam telah mempelopori positifikasi hukum Islam, akan tetapi dalam tataran praktek hukum, masing-masing kerajaan mempunyai sistem yang berbeda. Dalam kajian yang dikembangkan M.B Hooker, praktek hukum yang terdapat di kerajaan Islam Indonesia dibedakan dalam tiga bentuk, sedangkan akar perbedaan praktek penerapan hukum dipengaruhi oleh akomodasi norma hukum awal ( adat ) yang telah berkembang sebelum kedatangan norma hukum Islam[31]. Adapun tiga bentuk praktek hukum Islam di Nusantara sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan berikut.
Pertama, pola Islam law as expression of public law.Praktek ini terdapat di kerajaan-kerajaan Islam perairan Malaka[32]. Kedua.Islam law as of phillosophy of law and Life.Praktek ini terdapat di kepulauan Sumatra bagian Barat terutama di Minangkabau, sedangkan praktek jenis ketiga adalah praktek Islam law as parallel System.Praktek hukum Islam sebagaimana bentuk aslinya ini nampak pada upaya-upaya pengumpulan hukum Islam dalam satu buku yang dapat dijadikan pedoman kerajaan.Misalnya pembuatan pepakem di Cirebon dan kitab surya alam di Palembang[33].
Eliminasi Hukum Perdata Islam Masa Penjajah
Dalam banyak kajian, perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan sangat dipengaruhi oleh politik pemerintahan Belanda.Pada awal kedatangannya, Belanda telah melihat hukum Islam dipraktekkan masyarakat nusantara, baik dalam peradilan, praktek harian maupun keyakinan hukum.Sikap politik VOC terhadap Islam dipengaruhi oleh kepentingan perdagangan rempah-rempah dan perluasan pasar[34].
Oleh sebab itu, exsistensi hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak berubah seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan pemerintahan kerajaan Islam masih mempunyai wewenang legislatif[35]. Selain faktor di atas, penyebab utama kebijakan toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah, perhatian utama kompeni terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa keagamaan yang menyolok[36].
Kebijakan hukum Deandles misalnya, sebagaimana yang tertuang dalam Charter voor de aziastisce bezittingen van de bataafsce republiek, Pasal 86 :“ De rechtspleging onder den Inlander zal blijven geschieden volgens hunne eigenne wetten en gewoonten.Het Indische bestuur zal door gepaste middelijn zoergen dat dezelve in die territoiren, welke onmiddelijk staan onder de opperheerschappij van den staat, soveel mogelijk worde gezuiverd van ingenslopen misbruiken, tegen den inlandsche wetten of gebruiken strijdende, en het bekomen van spoedige en goede justitie,....”[37] Sikap toleransi di atas, pelan tapi pasti kemudian berakhir seiring dengan diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada tahun 1602.Dalam pasal 35 octrooi tersebut, VOC mendapat kekuasaan untuk mengangkat officieren van justitie. Pada waktu pengangkatan dari gouverneur general ( wali negeri ) yang pertama serta Dewan Hindia pada tanggal 27 November 1609.Dewan ini juga diperintahkan menengahi perkara perdata maupun pidana[38].
Oleh sebab itu, beberapa wilayah VOC di nusantara memberlakukan unifikasi hukum walaupun pada perkembangan selanjutnya unifikasihukum tersebut gagal. Sebagai akibat dari kegegalan tersebut, pada tahun 1642 VOC mengukuhkan statuta Batavia dan memberikan legitimasi juridis praktek pembagian waris Islam masyarakat Indonesia[39]. Pengakuan tersebut kemudian diikuti dengan pengakuan praktek hukum Islam di daerah lain, yaitu praktek hukum Islam masyarakat Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan[40].
Beberapa kordinat positif yang ditunjukkan VOC tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemahaman VOC terhadap living law yang dipraktekkan masyarakat Indonesia.Aspek ini dapat kita ketahui ketika VOC meminta D.W.Freeijer menyusun konpendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah disempurnakan oleh para penghulu dan ulama, kitab hukum tersebut diterima oleh VOC tahun 1760.Kitab yang disusun oleh Freeijer dikenal dengan nama Compendium Freeijer.
Selain Compendium Freeijer, VOC juga membuat beberapa buku kodifikasi yang lain. Misalnya, kitab Mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang.Kitab hukum ini perihal kitab hukum jawa yang berasal dari kitab Al-Muharrar.Selain itu, ada juga kitab hukum lain, yaitu Pepakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum jawa yang tua-tua, yang diterbitkan kembali oleh Hazeu tahun 1905 dan juga peraturan yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas prakarsa B.J.D.Clootwijk[41]. Pasca dibentuknya beberapa kodifikasi hukum tersebut.Melalui Stbl. Tahun 1882 Nomor 152, Belanda mengakomodasi praktek formil masyarakat dengan membentuk Pengadilan Agama, yang disebut priesterraad atau berarti pengadilan pendeta,.Priesterraad ini dibentuk di setiap wilayah landraad atau Pengadilan Negeri.Pengadilan ini menangani antara perkara orang Islam dengan memakai hukum Islam[42]. Sebelum keluarnya Stbl.Tahun 1882 Nomor 152, sebenarnya Belanda telah beberapa kali melakukan pengawasan terhadap jalannya hukum Islam, meski di sisi lain menunjukkan kepedulian pada pengaturan eksistensi hukum Islam dan lembaganya.
Puncak pengakuan VOC terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Jacob Mossel ( 1750-1761 ), ketika ia meminta seorang pakar hukum Belanda untuk menyelidiki living law Indonesia.Hasil dari kajian inilah yang mendorong lahirnya resolutie der Indische regeering yang memperluas praktek hukum perkawinan Islam dan tidak terbatas masalah waris saja[43]. pemerintahan VOC mulai menata peradilan dan memberikan kitab rujukan putusan perkara, yaitu buku Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten Nauwkeurig getrokken uit Het Mohammedhaansche Wet Book Mogharer sebagai pegangan di peradilan agama Semarang[44]. Sekilas, gambaran di atas menunjukkan bagaimana perhatian positif yang dipraktekkan VOC. Padahal, pengakuan yang diberikan merupakan reaksi atas kegagalan badan peradilan VOC yang diperkenalkan sebelumnya[45].
Setelah masa pemerintahan VOC berakhir, terjadi perubahan sikap politik hukum Belanda, perubahan sikap politik hukum terjadi setelah Belanda menyadari ancaman terhadap kekuasaan Belanda yang berasal dari beberapa pemberontak Islam[46]. Mulailah kebijakan positif hukum Islam ditinjau ulang, peninjauan ini dilakukan karena setiap pemberontakan terhadap kompeni muncul sebagai akibat pengaruh hukum Islam.Sehingga, dengan melakukan eliminasi praktek hukum Islam, potensi pemberontakan diharapkan dapat berkurang[47].
Adapun upaya Belanda dalam menghapus pengaruh praktek hukum Islam bagi masyarakat pribumi diwujudkan dalam tiga bentuk.Pertama, dikotomisasi, dalam tataran ini Belanda mulai mempersoalkan integrasi hukum Islam dengan adat masyarakat.Kedua, marginalisasi, Belanda menggagas ilmu hukum baru yang diharapkan dapat menggeser ilmu hukum Islam.Sedangkan yang ketiga adalah, eliminasi, yaitu pembatasan kompetensi absolut peradilan agama.
Dalam hal integrasi hukum Islam dengan praktek masyarakat, tahun 1838 Belanda menunjuk Scholten van Oud Haarlem memimpin komisi penyesuaian undang-undang Hindia Belanda dengan penduduk pribumi, pada tahun 1882 Scholten menyampaikan nota yang ia berikan pada pemerintahan Hindia Belanda, Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan, jika dilakukan pelanggaran terhadap orang bumi putera dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu tinggal tetap dalam lingkungan ( hukum ) agama serta adat Istiadat mereka.Pendapat tersebut ditindak lanjuti dengan mendirikan priestraad Indonesia pada tahun1882[48].
Praktek integrasi praktek hukum Islam mulai dipersoalkan pada tahun 1889 dan mulailah dikembangkan keyakinan bahwa hukum Islam sangat berbeda dengan praktek adat masyarakat,[49] Hal ini dibuktikan dari penyimpangan ajaran hukum Islam dalam praktek waris Minangkabau.Dalam anggapan Belanda, harus dibedakan mana yang dapat disebut hukum agama dan berasal dari tuhan serta mana yang harus dianggap hukum adat berdasarkan de noormative kracht van het fetelijk gebeuren[50].
Bentuk kedua marginalisasi ilmu hukum Islam.Upaya ini diwujudkan dengan munculnya ilmu hukum adat.Pembentukan ilmu Hukum Adat dimulai dari periode Van Vollenhoeven, yaitu pengarang buku Het Ontdekking van Het Adat Recht, hingga sekarang.Dalam buku Van Vollenhoeven disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hukum adat adalah ilmu yang mempelajari hukum yang tidak bersumber dari peraturan pemerintahan Hindia Belanda atau pemerintahan sebelumnya[51]. Definisi hukum adat di atas tentu amat rancu.Sebab, dalam sejarah hukum Indonesia, masyarakat mengikuti ketentuan yang digariskan agama.Tidak ada norma yang dianut masyarakat Indonesia terkecuali mengikuti konsep kepercayaan masyarakat. Oleh sebab itu, Istilah hukum adat sendiri sangat asing dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia[52].
Upaya Van Vallenhoeven kemudian ditindak lanjuti Snouck Hourgronje.Adapun perbedaannya adalah, jika dalam konsep hukum adat Van Vallenhoeven tidak menerjemahkan pemisahan adat dari praktek agama.Snouck Hourgronje membuat demarkasi tegas antara praktek adat dan praktek agama, hukum agama baru bisa di-receptie hukum adat, apabila hukum agama tidak bertentangan dengan adat masyarakat[53]. Sedangkan bentuk ketiga adalah, pembatasan kompetensi absolut peradilan agama.jika pada masa VOC hukum agama diakui dan difasilitasi pelaksanaanya, baik peraturan pidana maupun peraturan perdata[54]. pada masa pemerintahan Holland Goubernemet kompetensi absolut praktek peradilan pribumi dikurangi. Reduksi pertama adalah kompetensi peradilan agama terbatas dalam hukum perdata agama.
Setelah itu, hukum perdata keagamaan dikurangi menjadi terbatas pada masalah perkawinan.Pada puncaknya kompetensi perkawinan dipersempit menjadi kompetensi perkawinan an sich tanpa kompetensi harta kekayaan dan pewarisan[55].
B. Relasi Sosio-Politik Bagi Implantasi Hukum Hukum Pidana Islam Indonesia
Apakah ilmu hukum mempunyai relasi dengan politik? pertanyaan praktis ini tidaklah mudah dijawab dengan penjelasan singkat.Sebab, para ahli hukum percaya antara hukum dan politik terdapat perbedaan karakter yang sangat dalam.Pertanyaan di atas akan semakin sulit dijawab jika diteruskan dalam Apakah makna dan bagaimana relasi politik dengan penemuan hukum?
Perbincangan distingsi hukum dari sosio-politik merupakan materi laten yang terdapat dalam perdebatan metode penemuan hukum. Sebagian kalangan berpendapat, untuk selanjutnya dikenal dengan mazhab positifisme, the development of law formated for the sake of the law only.Kalangan ini menolak keras campur tangan politik dalam hukum, hukum demi hukum, ilmu hukum berbentuk value-free science sedangkan ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu sosial berbentuk value-loaded science.Dalam pandangan kelompok ini prosedur penemuan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum berjalan dalam bingkai aparat hukum an sich, hukum hanya dapat ditemukan melalui keputusan hakim saja.Adapun proses pembentukan hukum dibatasi pada produk legitimator yang disahkan undang-undang[56]. law is a command of the law giver[57].
Konsep hukum di atas sudah tentu memiliki kontradiksi dengan mazhab lain, untuk selanjutnya dikenal dengan mazhab sosiologis[58]. Dalam pandangan mazhab ini the contruction of law constructed and formated for the sake of social interest.Hukum harus melayani masyarakat.Oleh sebab itu, hakim tidak dapat memutuskan hukum secara memuaskan hanya dengan menggunakan perangkat konstruksi logika hukum semata.Pembentukan UU menghendaki perlindungan atas kepentingan.maka primat dari logika dihentikan primat dari penyelidikan dan penilaian atas kehidupan “ lebensforcungs und lebenswertung “[59] .
Dalam perkembangan selanjutnya, mazhab legisme ternyata lebih dominan dalam penemuan hukum Indonesia.Hal ini dapat kita ketahui dari intensitas perundangan yang dilahirkan otoritas politik lebih banyak dibandingkan dengan usulan undang-undang yang diusulkan oleh masyarakat.Sebagai konsekwensi dari realitas ini, cita hukum yang terdapat dalam masyarakat sangat sulit terpenuhi.Masyarakat diposisikan sebagai objek Hukum, bukan subjek yang memiliki kepentingan atas hukum.
Kajian sistem hukum negara, seringkali dibelah dalam dua kanal pemikiran.pada kanal pertama dikenal dengan, anglo-Saxon, yaitu sistem hukum negara yang mengedapkan living law masyarakat.Sedangkan wilayah kedua, europe-continental lebih mengedepankan sistem written constitution dan bersifat flexible sesuai dengan limitatiasi legitimator di Parlemen[60]. Dalam rites dÄ› passage hukum Islam,[61] termasuk di dalamnya pemikiran implantasi hukum pidana Islam Indonesia, nampak jelas legalisasi hukum Islam dimungkinkan terjadi bila negara dengan " berat hati menerima" konsep implantasi hukum Islam.Format sosio-politik hukum Indonesia dengan menggunakan pisau analisa historitas dan normatifitas di Indonesia, sangat tergantung bagaimana support politik memaksa penguasa melegalkan hukum tertentu.
Deskripsi hukum Islam Indonesia dari perspekstif historis menunjukkan adanya fluktuasi dan dinamika hukum Islam yang signifikan.Fluktuasi ini dapat kita buktikan dengan melihat pola praktek hukum Islam yang dilakukan masyarakat.Pola penyebaran agama Islam di Indonesia yang menganut pola akulturasi dan asimilasi, menyebabkan peran norma hukum awal sangat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia, ketika kekuasaan politik kuat hukum Islam dapat berjalan sebagaimana "mestinya". Sebaliknya, ketika hukum Islam tidak memiliki posisi politik yang kuat, pelaksanaan hukum Islam berjalan sesuai dengan "selera" pemeluknya.
Sedikit mengulang dengan apa yang telah disampaikan oleh M.B Hooker, praktek hukum yang terdapat dalam tata sosial masyarakat Indonesia bukanlah tunggal.Sedangkan akar perbedaan penerapan hukum dipengaruhi oleh bentuk akomodasi norma hukum awal sebelum kedatangan Islam dan posisi nilai tawar politik yang dimiliki hukum Islam[62].
Adapun tiga bentuk praktek hukum Islam di Nusantara sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan berikut.Pertama, pola Islam law as expression of public law.Praktek ini terdapat di kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di perairan Malaka, hukum Islam dipraktekkan sebagai ekspresi sosial masyarakat[63].
Hukum Islam mampu dipraktekkan masyarakat dengan kekuatan politik penguasa. Kedua, Pola Islam law as of phillosophy of law and Life.Praktek ini terdapat di kepulauan Sumatra bagian Barat terutama di Minangkabau, hukum Islam dipraktekkan sebatas term filosofis semata.Normatifitas Hukum Islam tidak mampu mengekspresikan diri dalam tatanan sosial secara utuh, kurangnya dukungan kuasa politik dan kuatnya pengaruh kuasa adat menyebabkan hukum Islam dipraktekkan apabila tidak bertentangan dengan realitas sosial.Sedangkan praktek jenis ketiga adalah praktek Islam law as parallel System.Praktek hukum Islam sebagaimana bentuk aslinya ini nampak pada upaya-upaya pengumpulan hukum Islam dalam satu buku yang dapat dijadikan pedoman kerajaan. Misalnya pembuatan pepakem di Cirebon dan kitab surya alam di Palembang[64].
Pola di atas bertahan hingga datangnya imperealis Eropa ke Indonesia. Bagaimana dengan peluang Implantasi hukum Pidana Islam, Dalam ranah penelitian hukum, implantasi hukum Islam dalam tata hukum nasional adalah hal baru.Oleh sebab itu, memahami dan memahamkan istilah Implantasi Hukum Pidana Islam bukanlah hal mudah.Istilah Implantasi hukum tidak kita temukan dalam buku hukum Islam manapun, baik pada masa klasik, ketika hukum Islam terintegrasi dalam fiqh, maupun kontemporer, ketika pemikiran hukum Islam mengalami gejolak dekonstruksi struktur juridis yang luar biasa.Bagi sebagian kalangan menganggap istilah implantasi adalah absurd, abstrak dan terlalu dipaksakan, sebagian yang lain malah beranggapan, term implantasi tidak sesuai dengan mainstream pemikiran hukum Islam yang lebih konseptual dan praktis.
Istilah Implantasi hukum pidana Islam adalah hasil adaptasi dari dua kata utama yaitu kata implantasi dan hukum pidana Islam.Istilah ini sengaja digunakan untuk mendekonstruksi pemikiran praktek hukum Islam di Indonesia yang cenderung bersifat statis-pragmatis. Dalam tataran simantik, istilah Implantasi lebih dikenal pada kajian kedokteran, yaitu kegiatan mencangkokkan organ tertentu pada organ tubuh yang sudah rusak dan atau tidak layak pakai dengan organ yang berasal dari organ tubuh lain yang masih berguna[65].
Ketika istilah implantasi dilekatkan pada hukum Islam berarti merujuk pada suatu proses untuk mencangkokkan hukum Islam, sebagai bagian dari sumber hukum, dalam tata hukum positif. Term Implantasi sudah tentu berlawanan arus dengan istilah umum yang menggambarkan proses "menjadikan hukum Islam sebagai (bagian) hukum Negara". Istilah Implantasi sengaja digunakan untuk memfalsifikasi logika pemikiran kajian hukum Islam yang cenderung, selain bersifat statis-pragmatis, dan mengambil bentuk logika historio-ferivikatif.Muhammad Abdun Nasir, memberikan penjelasan yang tegas tentang technical term kajian praktek hukum Islam di Indonesia[66].
Menurut Nasir, Istilah baku yang dikenal dalam tradisi pemikiran hukum Islam modern adalah transformasi hukum Islam, pelembagaan hukum Islam, kodifikasi atau kompilasi hukum Islam, Islamization of Muhammadan Law, taqnin, maupun juga doktrin “siyasah”. Kerangka pemikiran transformasi hukum Islam dalam tata hukum positif untuk pertama kali dilontarkan oleh Abdul Ghani Abdullah dalam bukunya “Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia”.Menurutnya, kegiatan transformasi hukum Islam dalam tata hukum posistif tidak dapat dilepaskan dari geneologi eksistensi peradilan agama yang ada.Peradilan agama di Indonesia telah hadir dan telah tertata baik sebelum tata hukum Belanda ada[67].
Oleh sebab itu, hukum Islam bukanlah illegal boarder dalam tata hukum posistif, melekatkan hukum Islam dalam tata hukum positif berarti mentransformasikan existensi hukum Islam pada kedudukan awalnya[68]. Ide dasar melekatkan transformasi hukum Islam dengan sejarah peradilan agama, sudah tentu menunjukkan kejanggalan dan keterbatasan yang perlu dikaji ulang.Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama, sebagi titik pijak pembahasan Abdullah, bukanlah transformasi exsistensi peradilan agama, undang-undang tersebut hanya mengatur hukum formal yang berlaku dalam peradilan agama dan tidak memiliki kaitan langsung dengan pemikiran hukum Islam pada umumnya, ketentuan tersebut lebih bermuatan teknis beracara dibandingkan materi hukum Islam pada umumnya.
Berbeda dengan pemikiran transformasi hukum Islam, Nasir menyebutkan term lain yaitu gagasan Bustanul Arifin tentang ide “Pelembagaan hukum Islam”.Bustanul menggunakan Istilah ini guna mengomentari niat Pemerintah dalam usaha untuk mengkompilasikan hukum Islam lewat proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, yang kemudian dikenal dengan proyek Kompilasi Hukum Islam (KHI).Proyek kompilasi hukum Islam dilakukan pemerintah guna pembinaan kekuasaan kehakiman dan penyempumaan hukum materiil yang berlaku pada peradilan agama.Proyek KHI dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah melakukan standarisasi hukum materiil peradilan agama dalam satu buku rujukan standar yang dipakai oleh para hakim[69].
Dilihat dari teori hukum positif, proyek Kompilasi Hukum Islam merupakan upaya hukum pemerintah guna mengakomodasi eksistensi normatifitas hukum Islam yang dipraktekkan masyarakat.Normatifitas materi hukum Islam, secara tidak langsung, dalam prespektif Bustanul, dilembagakan dan bersinergi dengan normatifitas hukum materiil positif[70].
Tidak berbeda dengan pemikiran Abdullah, tussen-norma fallacies yang terdapat dalam Ide pelembagaan hukum Islam menimbulkan problematika tersendiri, yaitu praktek pelembagaan norma hukum yang dijalankan masyarakat. Dalam prespektif sosiologi hukum, keyakinan hukum masyarakat terhadap Hukum Islam telah terlembagakan dalam hukum materiil peradilan agama jauh sebelum proyek kompilasi hukum Islam dilaksanakan? Bahkan, existensi hukum Islam di Indonesia telah ada jauh sebelum adanya tata hukum positif. Proses pelembagaan hukum Islam yang terdapat dalam KHI, tidak hanya menggunakan tata perundangan yang kuat dengan menggunakan Instruksi presiden dengan konsekwensi sebagai norma anjuran materiil bukan norma formal materiil, melainkan juga menegaskan legalitas pemerintah untuk menentukan, mengarahkan dan membentuk hukum agama tertentu sesuai dengan selera pemerintah.
Dalam dunia pendidikan misalnya, pengesahan Undang-Undang pendidikan nasional yang baru bukan mengarahkan masyarakat dalam satu tujuan pendidikan. Justru sebaliknya, pasca pengesahan undang-undang sisdiknas malah berimbas pada konflik intemal masyarakat Indonesia. Kalangan Muslim beranggapan, UU Sisdiknas sudah sesuai dengan hak asasi murid dalam menerima pelajaran. Sebab, menjalankan dan memperoleh ajaran agama merupakan hak asasi setiap orang. Sebaliknya, dalam pandangan kalangan Katolik, pengesahan Sisdiknas melegitimasi masuknya idiologi, ajaran, dan guru Islam ke sekolah.
Padahal, dengan konteks HAM yang sama, pemaksaan pandangan agama yang dimiliki kalangan tertentu bertentangan dengan hak asasi manusia.Fungsi utama hukum dalam masyarakat adalah mengatur kehidupan bermasyarakat dan memaksa anggota masyarakat untuk mengikutinya[71].
Kegagalan hukum dalam mengatur dan memaksakan masyarakat dalam satu tatanan, sudah tentu berimbas dalam kegagalan lebih luas[72]. Selain dua term di atas, istilah lain yang dikenal adalah kodifikasi atau kompilasi hukum Islam.kodifikasi ini merupakan adaptasi dari Istilah codification (pengkodean/pembagian), yang berarti pembagian hukum Islam yang tersebar dalam beragam kitab fikih dalam satu bab tertentu.Istilah ini digunakan oleh Abu Bakar bin Hasyim dalam menyikapi penyusunan syari’ah Islam menjadi undang-undang di Singapura[73].
Sikap senada juga disampaikan oleh S.Ali Raza Naqvi ketika menggambarkan problem hukum Islam di Pakistan.Menurut Naqvi, mengutip pendapat Nasir, hukum adalah refleksi dari suatu masyarakat yang tidak saja mencerminkan standar moral dan spiritual masa lalu, tapi juga manifestasi pandangan umum saat sekarang terhadap kehidupan dalam pola yang luas. Oleh sebab itu, hukum harus responsif terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat[74].
Beragam techinical term yang telah disampaikan oleh Abdun Nasir sudah tentu memancing pertanyaan apakah makna integral implantasi hukum Pidana dan bagaimana posisi implantasi dalam arus kajian hukum pidana Islam.Implantasi hukum pidana Islam dalam kajian ini diartikan sebagai penarikan norma-norma hukum pidana Islam dalam tata hukum Positif.Hukum pidana Islam, walau tidak menutup kemungkinan melihat peta politik yang berkembang, sangat mustahil dapat dijadikan sebagai bentuk unifikasi hukum pidana Nasional. Beragam normatifitas hukum yang terdapat dalam hukum pidana Islam, cenderung bersifat kontradiktif jika dibandingkan dengan norma hukum positif.Oleh sebab itu, normatifitas hukum pidana Islam baru dapat dilakukan apabila ada dekonstruksi epistimologis.
C. Problematika Filosofis Hukum Pidana Islam di Indonesia
Hingga saat ini, kegiatan memahami dan mendiskripsikan praktek hukum pidana Islam di Indonesia merupakan kegiatan yang melelahkan dan menjemukan.Bahkan dalam banyak segi sampai taraf menjengkelkan!. Kegiatan yang melelahkan, meminjam istilah Foucault[75] kajian sejarah, dalam hal ini dilekatkan dengan praktek hukum pidana Islam di Indonesia, selalu dihadapkan pada beragamnya data yang bersifat intersubjektif, sehingga masing-masing pihak harus mampu menilai beragam peristiwa berdasarkan kapasitas keilmuan dan kepentingan yang dimiliki.
Sebagai akibat yang ditimbulkan, terkadang seseorang dihadapkan pada suatu situasi yang sangat menjemukan.Problem ini merupakan problem tambahan pasca problem melelahkan, beragam data yang diperoleh seorang peneliti tidak selalu menggiring peneliti pada asumsi tunggal, bahkan data sejarah terkadang saling menyudutkan antara yang satu dengan yang lain[76].
Secara tegas Azyumardi mengatakan : “ Memang, untuk menstudi Islam pada periode ini diperlukan “ ketabahan extra “ pertama, orang perlu menghabiskan banyak waktu untuk menguasai ilmu-ilmu lain, semacam bahasa Belanda.Kedua.Ia harus siap “bertungkus lumus“ mengumpulkan bahan-bahan atau arsip yang terpencar dimana-mana.Ketiga, ia harus siap untuk menambah tebal kacamatanya karena matanya “ rusak “ membaca arsip dan naskah tulisan tangan yang tidak mudah dibaca dan dipahami.Keempat, ia tak kurang pentingnya ia harus bisa “ berada “ dengan apa yang pernah ditulis orang lain khususnya sarjana asing.Jika berharap studinya punya arti penting.“[77]
Pembahasan peluang implantasi hukum pidana Islam dalam tata hukum positif merupakan contoh konkrit dari problem utama di atas, sebagian kalangan beranggapan mengkaji upaya penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, merupakan suatu penelitian yang susah-susah gampang.Sebagain kalangan yang lain malah beranggapan penelitian upaya penerapan hukum pidana Islam di Indonesia merupakan penelitian serius yang menemui banyak kendala.
Penelitian upaya penerapan hukum pidana Islam di Indonesia relatif sederhana, hanya bergantung keinginan politik pemerintah.Beragam ceramah ilmiah dan statemen ahli hukum, baik hukum Islam maupun positif, menganggap peran politik pemerintah mutlak diperlukan.Apabila pemerintah setuju dan menyatakan hukum Islam berlaku, secara otomatis hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, akan berlaku dan boleh dikatakan selesailah persoalan. Beragam kendala yang akan ditemukan dalam praktek awal hukum Islam adalah hal wajar dan kendala sederhana yang dapat diselesaikan secara bertahap sambil berjalan.
Kelompok adaptif beranggapan[78], beragam aturan yang terdapat dalam narasi fiqh telah cukup memadai bahkan lebih dari cukup sebagai pegangan awal praktek hukum Islam.Para pihak yang beracara, baik hakim, tersangka, pembela, dan masyarakat yang membutuhkan dapat mengakses secara langsung dalam narasi fiqh.Apabila diperlukan, pengalaman kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah bukti nyata praktek hukum Islam di bidang keperdataan.
Berbeda dengan kelompok yang memahami upaya penerapan hukum pidana Islam di Indonesia adalah problem yang mudah, kelompok lain justru berpendapat sebaliknya.Tindakan politik yang ditempuh pemerintah dalam upaya penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, merupakan tindakan a historis, a populis dan tidak menyentuh problem dasar praktek hukum Islam.Sejarah praktek hukum Islam di Indonesia, walaupun sangat tergantung dengan pasang surut kekuatan politik tertentu, menunjukkan dinamika kemandirian praktek hukum dibandingkan dengan dinamika politisasi hukum.ketika Belanda berkuasa,
kekuatan politik mampu mereduksi praktek hukum Islam akan tetapi hokum Belanda yang memperoleh support politik tidak mampu mengakar dalam masyarakat.Praktek hukum pidana Islam bukan termasuk problem politik an sich, melainkan juga terkait erat dengan bergam problem yang lain terutama problem akademis mengenai probloem ontologis struktur juridis hukum pidana Islam, selain problem akademis, problem teoritis hukum Islam juga menghadapi kendala yang sangat serius, yaitu ketertundukan teks agama terhadap normatifitas bentukan penguasa tidak dikenal dalam hukum Islam.Hukum Islam hanya mengenal kuasa Allah sebagai legitimator dan legislator hukum, sedangkan tata hukum positif malah memberikan kuasa hukum kepada negara.
Memahami terma ontologis yang melekat pada implantasi hukum pidana Islam, bukanlah hal yang mudah.Sebagian jurist muslim yang alergi dengan mitos filsafat, menolak dengan tegas penarikan problem hukum pidana Islam yang bersifat praktis ke dalam dunia filsafat yang bersifat imajinatif.Dalam prespektif filsafat, termasuk di dalamnya filsafat hukum, memahami term ontologis dapat dengan mudah dilakukan dengan memisahkan dua kata yang ada, yaitu ontos dan logos.Simanticaly, ontos bermakna “ ada/sesuatu yang ada “. Adapun pragmaticaly, ontos bermakna sesuatu yang selalu “ ada “ dan tetap “ ada “. Objek telaah ontologi adalah yang ada, sesuatu yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.Sesuatu yang universal dan selalu “ ada “. Studi tentang yang “ ada “, pada tataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat methapisika.Istilah ontologi sendiri banyak digunakan ketika kita membahas “ ada “ dalam konteks filsafat ilmu[79].
Objek kajian yang dimiliki ontologi biasa disebut dengan objek formal, yaitu objek yang mengkaji hakikat seluruh relitas dan objek.dalam tataran praktis, ontologi selalu mengkaji 3 permasalahan fundamental yang dikenal dengan apakah hakikat yang “ ada “, apakah yang “ ada “ itu sesuatu yang tetap, abadi, atau terus menerus berubah, dan apakah yang “ ada “ itu sesuatu yang abstrak-universal atau konkret individual[80].
Dalam tradisi sains barat, aspek ontologis, menyangkut teori tentang ada (being) sebagai objek sains.Dalam sains barat modern yang “ ada “ dibatasi pada objek empiris.Dalam ontologis, diupayakan penjelasan mengenai sifat-sifat objek, serta hubungan dengan subjek ( preceiver atau knower ).benar-benar adakah apa yang disebut sebagai realitas objektif ( objektivity reaslity ) yang terpisah dari subjeknya ? ataukah objek itu sekedar bentukan-tak-konkret presepsi subjek ? ataukah pengetahuan merupakan hasil persentuhan objek ( real ) dan intrepretasi subjek, dengan demikian, tak sepenuhnya terpisah ?[81]
Sebagai salah satu cabang filsafat, ontologi termasuk cabang tertua yang relevan dengan filsafat Ilmu.Aspek ontologi menjadi cabang tertua karena tradisi inilah yang mewariskan berbagai permasalahan filsafat selanjutnya.dalam tradisi ontologi, kebenaran sesuatu yang “ ada “ dibedakan dalam empat faham, yaitu :
1. faham monisme : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu hanya satu.aliran ini dibedakan dalam dua aliran besar, yaitu spiritisme ( serba Rohani ) dan matrealisme ( serba materi ).
2. Faham dualisme : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu mustahil tanpa dibarengi spirit dan materi sekaligus.Oleh sebab itu, mazhab ini berpendapat kebenaran merupakan elaborasi aspek spirit dan materi.
3. Faham Pluralisme : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu tidak dibatasi pada aspek spirit dan materi semata, tetapi merupakan sesuatu yang plural.
4. Faham Agnotisime : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu bersifat komplek sehingga berupa sesuatu yang tidak diketahui.[82]
Kerangka ontologis dunia filsafat ilmu menarik untuk digunakan memahami ide implantasi hukum Islam Indonesia.Permasalahan fenomena pemihakan hukum agama tertentu yang melanda Indonesia sudah tentu amat menarik jika ditinjau dengan falsifikasi ontologis.Sebab, selama ini doktrin hukum yang diusung kalangan Islam literal, kalangan yang menganggap political support harus lebih dulu diselesaikan dibandingkan dengan dukungan struktrur juridis, dilekatkan dengan berbagai perangkat meta hukum positif.
Kebutuhan masyarakat terhadap tegaknya hukum bukanlah problem serius yang perlu diperhatikan kalangan literal, kebutuhan tegaknya hukum adalah kebutuhan dasar yang dianggap mampu membawa tegaknya hukum di masyarakat.oleh sebab itu, pada umumnya, kalangan literal menggunakan pendekatan klam normatif legalistik yang terdapat dalam syara' dibandingkan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat atas tegaknya hukum. Menurut Appledorn, tegaknya hukum ditengah masyarakat baru dapat diterima apabila berasal dari normatifitas sosial yangt sedang berkembang, dengan tegas ia menyatakan Recht is over de gehel wereld, overal waal een samenliving van mensen is.[83]
Dengan bahasa yang lebih sederhana, Cicero menyatakan pentingnya hukum bagi masyarakat dengan ungkapan ubi Ius, ubi Societas.[84] Dalam kajian hukum Islam, aspek ontologis biasanya disandarkan pada sumber hukum yang bersifat abadi, kekal, tidak berubah, dan berlaku universal.Secara keseluruhan, juris muslim sepakat sumber hukum yang memiliki karakter berlaku universal dan bersifat abadi hanya terdapat dalam al-Qur’an[85] dan al-Hadits[86].
Sedangkan jika aspek ontologi dilekatkan pada filsafat hukum, bagaimanapun bentuk terminologi yang ditawarkan, bermakna perangkat yang berisi perintah dan larangan guna mengatur ketertiban dimasyarakat. Penarikan garis ontologis hukum Islam (baca ; hukum pidana Islam) sudah tentu memiliki berbagai implikasi yang tidak mudah dijelaskan.Implikasi pertama adalah formalisme hukum dan implikasi kedua adalah substansi hukum.dalam hal implikasi pertama, kalangan Islam literal seringkali mempergunakan propaganda standar truth claim idiology yang terdapat dalam al-Qur’an[87], yaitu :
1. Barang siapa yang tidak mengikuti hukum Allah Maka ia termasuk golongan orang yang kafir…..Barang siapa yang tidak mengikuti hukum Allah Maka ia termasuk golongan orang yang zalim…..Barang siapa yang tidak mengikuti hukum Allah Maka ia termasuk golongan orang yang fasik[88].
2. Apakah engkau mempercayai sebagian Isi al-Qur’an dan mengingkari sisanya.apabila engkau berlaku demikian niscaya engkau akan mengalami kesempitan hidup dan siksaan di akhirat[89].
Problem truth claim tersebut, sebagaimana problem besar ilmu hukum kaukus Abrahamics, adalah munculnya anggapan sempit dikalangan pemeluk agama untuk menentukan ketentuan hukum sebagaimana yang tercantum pada kitab suci. Dalam tradisi masyarakat homogen sudah tentu hal ini tidak akan menimbulkan masalah serius, akan tetapi apabila design social tersebut dilekatkan pada setting social heterogen banyak kendala yang harus disikapi secara bijak dan arif. Konstruksi sosial masyarakat heterogen tidak memungkinkan normatifitas tunggal ontologi, konstruksi masyarakat heterogen dibangun atas normatifitas ide masyarakat.
Problematika truth claim forma ontologi hukum Islam literal sebenarnya dapat diakomodasi dengan memahami grand social ontology hukum Islam.Pertama, dengan meminjam istilah Koentowibisono, perjumpaan Muhammad SAW.dengan kultur hukum Quraysh pada awal masa kenabian dan pembentukan karakter sosial masyarakat Madinah.Nabi Muhammad SAW.pada awal periode kenabiannya membentuk karakter ontologi hukum yang menarik untuk disimak. Ketertarikan ini dibangun atas aspek ontologi sosial Muhammad SAW.yang beranggapan, betapapun beratnya problem sosial yang dihadapi, penyelamatan konstruksi sosial harus diupayakan.Penyelamatan ini tidak dibangun dengan truth claim sebagaimana pandangan Islam literal.Penyelamatan konstruksi sosial diupayakan dengan perangkat sosial yang dikenal masyarakat, bukan perangkat asing yang tidak dikenal sebelumnya.Walaupun, truth claim idiology ala madinah tersebut telah turun.
Bentuk ontologi kedua adalah ontologi Madinah.Konstruksi ontologi hukum Madinah dibangun atas perjanjian damai antara masyarakat muslim, Nasrani, dan Yahudi Madinah.Pemunculan ontologi Madinah tidak dapat dilepaskan dengan kegagalan proses ontologi Makkah, oleh sebab itu, sesuatu yang “ ada “ harus diwujudkan, dan harus tetap “ ada “ walaupun ia telah tiada.Dalam pandangan ontologi Madinah, kebutuhan sosial yang mendesak dan harus dipenuhi adalah ketertiban dan keteraturannya.Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat harus meninggalkan insider interst guna terbentuknya comunal interest.Nabi Muhammad SAW., walaupun telah menerima beragam ketentuan hukum dari Allah Swt., dengan senang hati melaksanakan keputusan Madinah , ia memberikan hak yang sama terhadap komunitas Madinah, biarlah agama yahudi tunduk terhadap ketentuan hukum Yahudi, Kaum Nasrani menjalankan ketentuan hukum Nasrani, dan Ummat Islam serta nabi sendiri tetap menjalankan kewajiban hukum Islam tanpa memaksakan konsep hukum Islam terhadap kaum yahudi dan Nasrani di Indonesia.
Selain problem politis, proses krusial dalam implantasi hukum Islam adalah resturukturisasi struktur juridis hukum pidana Islam.Hukum pidana Islam, belum terbakukan dalam sebuah kajian hukum yang layak.Kajian hukum pidana Islam seringkali meninggalkan beberapa pertanyaan yang menggelikan, pertanyaan sederhana yang mempersoalkan kerangka ontologi hukum Islam menyisakan beberapa problem serius.Apakah hukum pidana Islam, merujuk pada kajian standar yang dikenal dalam wilayah Fiqh, sudah tentu bukanlah sikap arif yang perlu dicoba.Beragam kajian hukum pidana Islam dalam ilmu figh, justru memberikan ruang yang cukup mengundang kontroversi.sebaliknya, struktur juridis hukum pidana positif menuntut adanya unifikasi.
Selain problem struktur juridis, implantasi hukum pidana Islam dalam tata hukum positif juga menyisakan problem struktur idiologis.Hukum pidana Islam, ketika harus masuk dalam sistem hukum positif, harus membuang doktrin Allah is the real law giver ? hukum positif hanya mengenal mekanisme perundangan negara, hukum Islam justru memaksa negara, termasuk masyarakat muslim, menerima hukum sesuai dengan kehendak-Nya.
Diskripsi problem ontologis di atas, sudah tentu mempertegas problem dasar implantasi hukum pidana Islam bukanlah sekedar kemauan politik, tetapi berkaitan erat dengan problem yang lain, mulai dari yang bersifat akademis, teoritis, politis, sampai kepada yang bersifat praktis yaitu mengenai berjalannya struktur formil di pengadilan dan juga mengenai hukum yang akan dijalankan harus mengakomodasi nilai-nilai HAM. Selain problem ontologis, hukum pidana Islam juga mengalami problem epistimologis yang serius.Hukum pidana Islam, walaupun tidak ternyatakan dengan tegas dalam rumusan tertentu, sudah baku dan nyarius tidak beranjak menyesuaikan perkembangan zaman.Perkembangan hukum pidana Islam, walaupun tidak secara keseluruhan dilakukan kalangan juris muslim, cenderung kehilangan semangat mempertanyakan kembali "kebenaran-kebenaran tentatif" hukum pidana Islam.
Beragam kajian yang berkembang justru membuktikan, hukum pidana Islam hidup dalam dunia imajinatif dan konservatif.Term imajinatif, merujuk pada hilangnya semangat mengkonseptualisasikan normatifitas hukum pidana Islam dengan realitas sosial.Term konservatif problem epistimologis hukum pidana Islam, merujuk pada kajian yang berkembang merupakan repetisi dan rekonservasi kajian hukum sebelumnya.Selain konsep hukuman yang ditawarkan Sahrur, konstruksi dasar hukuman dalam hukum pidana Islam tidak berubah.Kapan dan bagaimana pilihan hukuman alternatif dilakukan tidak tersentuh sama sekali (baca :tidak pernah dikaji ulang).
Dalam sejarah epistimologi, mempertanyakan kembali pengetahuan yang dianggap mapan atau benar dalam masyarakat disandarkan atas pertanyaan Thales seorang arsitek dari Milethus yang amat mendasar dan jarang dipertanyakan orang[90]. Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini ?[91] Epistimologi, atau biasa disebut dengan filsafat ilmu pengetahuan membicarakan sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk memperoleh pengetahuan[92].
Runes dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistimology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, method, and validity of knowledge.Itulah sebabnya epistimologi dikenal dengan Istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan pengetahuan.Istilah Epistimologi, mengutip pendapat Runes, digunakan pertama kali oleh J.F.Ferierr pada tahun 1854.[93]
Pengetahuan dalam pandangan epistimologi ada tiga macam yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik.Begitu juga dengan bagaimana cara memperolehnya, pengetahuan diperoleh manusia melalui berbagai macam cara.Misalnya, epistimology empirisme tradisional Inggris, yang bersandar pada observasi, klasifikasi, formulasi, dan ferifikasi, berbeda dengan epitimology pragmatis Amerika menurut Bahm, setidaknya ada lima langkah krusial yang harus ditempuh guna memperoleh pengetahuan, yaitu awarenness of a Problem, examining the Problem, oroposing Solution, testing proposal, and solving the problem[94].
Memaham terma epistimologi sebagai cara manusia memperoleh pengetahuan sudah tentu amat menarik.Dengan aspek epistimologi seseorang mengetahui bagaimana dinamika pemikiran manusia.Aspek ini akan semakin menarik jika kita tarik dalam dimensi hukum Islam.Sebab, hukum Islam sangat berbeda dengan terma hukum pada umumnya.Hukum Islam tidak mengenal legitimator dan legislator sebagaimana hukum positif. Hukum Islam hanya mengenal intrepreter hukum, yaitu manusia sebagai objek dan subjek hukum sekaligus[95].
Perangkat epistimologi hukum pidana Islam, dalam pandangan penulis, sudah seharusnya mempertanyakan beragam "kebenaran-kebenaran tentatif" yang melekat pada fiqh. Melekatkan hukum pidana Islam dalam tata hukum positif, berarti merubah existensi struktur juridis epistimologis hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam tidak lagi hukum yang berasal dari normatifitas teks langit, epistimologi hukum pidana Islam harus dipandang sebagi ekspresi politik penguasa.
Epistimologi struktur juridis hukum pidana Islam liberal tetap merujuk pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.Akan tetapi, makna hukum yang terdapat didalamnya harus diperkaya dengan konteks sosial kontemporer ketika al-Qur’an turun.Epistimologi hukum pidana Islam literal yang membangun konstruksi epistimologi hukum dengan pemahaman ortodoksi dan originalitas teks saja[96], seharusnya diperkaya dengan kemampuan struktur juridis dalam menafsiri, melaksanakan, dan menterjemahkan dalam konteks sosial[97].
Perbedaan sikap Islam liberal terhadap epistimologi hukum pidana Islam seharusnya dipahami sebagai bentuk kebijakan teks menilai perkembangan masyarakat, Nasr Hamid Abu Zayd, salah seorang tokoh yang sering melontarkan kritik epistimologi beranggapan konteks sosial yang terdapat pada masa ayat turun harus dijadikan pedoman penafsiran terhadap al-Qur’an.Ayat al-Qur’an harus ditafsirkan kembali sebelum ditransformasikan dalam konteks sosial kontemporer[98].
Nasr Hamid menegaskan, konteks sosial ketika turunnya ayat merupakan sumbangsih yang berpengaruh terhadap aspek epistimologis.setiap lafadz mempunyai problem ontologis yang sangat terikat dengan budaya tertentu[99]. Oleh sebab itu, proses pewahyuan al-Qur’an selama 23 tahun harus dianggap sebagai akomodasi teks terhadap dinamika social. Dalam telaah relasi sosial terhadap pemaham teks keagamaan, Arkoun menawarkan epistimologi yang lebih berani dibandingkan dengan pemikiran liberal lainnya.Arkoun beranggapan, kandungan hukum yang terdapat dalam teks keagamaan tidak mungkin dipahami dari aspek historisitas syari’at (al-Aql al-Dini al-Lahuti). Beragam teks keagamaan harus dilekatkan dengan tradisi epistimologis pemikiran filsafat (al-Aql al-Dini al-Falsafi).Menurutnya, implantasi teks terhadap konteks sosial merupakan arus pemikiran abad pertengahan[100].
Kerangka epistimologis yang telah disampaikan Arkoun dan Hamid, sudah tentu menimbulkan antinomi yang sulit disatukan, terutama penyikapan mereka terhadap apa yang disebut dengan teks dan konteks.Sikap mereka yang paling sulit dipahami adalah konstribusi teks al-Qur’an dalam hukum Islam dipahami sebagai suatu sumber hukum yang terikat dengan konteks sosial.Begitu juga dengan konstruksi epsitimologi hukum, al-Qur’an bersanding dengan konteks sosial.Pertanyaan yang muncul sebenanrnya bukan pada kritik epistimologi mereka, melainkan terletak pada epistimologi hukum pidana Islam yang cenderung, jumud dan rigid dalam mengantisipasi perkembangan sosial.
[1] Abdullahi Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation ; Civil Liberties, Human Right and International Law, (Syracuse: Syracuse University Press, 1996 ), 134-5.
[2] Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an ; Qira’ah Mu’asirah, (Damsyiq: al-‘Ahali, 1990), 455-7.
[3] Baca Sambutan A. Malik Fajar (Menag.RI), Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif dalam Naskah Seminar Nasional, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2001 ), 15.
[4] Sebagai negara yang memiliki tradisi konkordansi yang kuat, konsep perumusan dan penemuan hokum memiliki ruang politik yang sangat kuat, yaitu ruang politik praktis dimana kelahiran hukum sangat tergantung pada broker partai politik.Sedangkan penemuan hukum memiliki ruang politik pragmatis dimana keputusan hukum dianggap “ terwakili “ oleh proses peradilan formil.Baca, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar, (Jogjakarta: Liberty, 1996), 37.A Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 78.Bdk Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa 1988 ), 42
[5] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, (Bandung: Remaja Karya, 1985 ), 18
[6] Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia, 2002), 102-153.
[7] Periksa UU No 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman Pasal 27 Jo.Pasal 24.
[8] Josep Schach, an Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University, 1964), 112-3
[9] Juhaya S.Praja et.all, “Aspek Sosiologis dalam Pembaharuan Fiqh Indonesia,” dalam Epistimolgis Syara’; Mencari Format Baru Figh Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 125-6.
[10] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Djambatan, Vol.1, 1964), 375.
[11] Menurut nalar teologi Islam, Kekuasaan duniawi dan rohani tidak terbagi, yang ada hanyalah kekuasaan syari’ah yang menyeluru Periksa E.I.J.Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, (Cambridge: Cambridge University Press, 1986 ), 22-3.
[12] Nazih Ayubi, Political Islam, (New York ; Routledge, 1991), 63-4.
[13] Fazlur Rahman, Islam, (New York ; Winston, 1966 ), 241.
[14] Pemikiran pemisahan shari’ah dengan negara muncul pasca hancurnya kekhalifahan Turki Uthmani dan kegagalan gerakan khilafah di MakkahPeriksa Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, (Oxford : Oxford University Press, 1962), 83
[15] Penjelasan perihal masuknya Islam di Indonesia dapat dilacak dalamAzyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantra Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), 24-36, A.Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), 7.Harry J.Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 28, Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah dan Syahron Siddiq, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj.Rohman Ahwan (Jakarta: LP3ES, 1988), 208.
[16] Depag RI.Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Ade Cahya, 1985), 5.
[17] Anthony Reids, the Making of an Islamic Political Discourse in South East Asia, (Victoria: Monash University Press, 1993), 84-107
[18] Soebardi and Woodcroft, “ Islam in Indonesia,” dalam Raphael Israeli, The Crescent in the East : Islam in Asia Minor, (London: Curzon Press, 1989), 181.
[19] Periksa.Anwar Harjono, Indonesia kita ; pemikiran berwawasan Iman-Islam, (Jakarta ; Gema Insani Press.1995), 121.Ayzumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, (Bandung: Rosda Karya, 1999), 69-71.Mark R.Woodward, Islam in Java, (Tucson: The University of Arizona, 1989), 55
[20] Ahmad Daudy,” al-Fath}} al-Mubi>n ‘Ala al-Muh}y al-Di@n:al-Syaikh Nuruddi@n al-Rani@ri@ “ dalam A.Rifa’i Hasan, ed. Warisan Intelektual Islam di Indonesia, Telaah atas Karya Klasik, (Bandung: Mizan, 1992), 22-7.
[21] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universitas Yasri, 1999), 69
[22] Ibid.
[23] Moh.Kosnoe, “Perbandingan Antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat”, (Jogjakarta: Kaliurang, Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi , 11-12 Januari, 1982), 2
[24] Secara de Jure kompetensi mengadili dimiliki sultan, akan tetapi secara de fakto, proses peradilan didelegasikan kepada para pembantunya.Dalam hal perkara agama yang mengadili adalah peradilan serambi, sedangkan perkara pidana kompetensi relatif didelegasikan kepada jaksa nagara.Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha bina Negara di Jawa Masa Lampau ; Studi Masa Mataram II, Abad XVI-XIX (Jakarta ; Buku Obor, 1985), 124.M.J. Ricklefs, the Seen and Unseen World in Java, (Honolulu: University of Hawai, 1998), 26
[25] Banyak sebutan yang dimiliki raja Islam Indonesia, di Sumatra gelar raja adalah Zil Allah fi al-’Ard. Di Jawa memakai gelar, khalifatullah atau khalifatul rasul.Periksa Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam (Jakarta: Logos Bina Ilmu, 1998 ), 35-7.
[26] Marshal G.Hodson, the Venture of Islam. (Chicago: Chicago University Press, 1984 ), Vol.I, 280-1.
[27] Baca gelar raja-raja Islam Jawa dan Sumatra Ibnul Qayyim Isma’il, Kiai Penghulu Jawa; peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insan Press, 1997), 36.Hans Antlov dan Sven Cedderoth, Kepemimpinan Jawa : perintah halus pemerintahan Otoriter, ter.Soemitro, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001), xi.Penjelasan gelar raja-raja Mataram periksa Soedarsono, Wayang Wong;the State Ritual Dance Drama in Court of Jogjakarta, (Jogjakarta: UGM, 1984).
[28] Terlepas dari berbagai penyimpangan yang ada, gejala ini dapat kita ketahui dari akomodasi nilai-nilai Hindu dalam nilai Islam yang dilakukan Sultan Agung Mataram (1613-1645 ).HJ.De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram (Jakarta: Grafiti Press, 1986), 106.
[29] Bernard Schrierke, Indonesia Sociological Studies.Vol.II.(The Haque And Bandung: Martinus Nijhoft. 1957), 7-8.
[30] legitimasi ini dikenal dengan wahyu keraton atau pulung keraton, periksa, Benedict R.Anderson, Langguage and Power : Exploring Political Cultures In Indonesia, (Ithaca and London: Cornel University, 1990), 17.
[31] Sebelum kedatangan Islam di Indonesia telah ada upaya kodifikasi hukum yang dilakukan penulis Hindu dan Budha, Misalnya kitab Ciwacasana oleh Darmawangsa, Adigama yang ditulis oleh empu Kanaka.Dan tata pemerintahan Majapahit yang dirumuskan oleh Gajah Mada.Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1994), 25.
[32] Kitab undang-undang Malaka merupakan kitab kodifikasi hukum Islam pertama yang terdapat di kerajaan melayu, akan tetapi penyusunan kitab ini sebenarnya merupakan petunjuk umum modifikasi upacara adat dari melayu pra Islam.Panuti Sujiman, Adat raja Melayu ; a Critical Studies on Court Ceremonial, (Jakarta: UI.Press, 1984 ), 6-7.
[33] M.B.Hooker, Islam in South-East Asia, (Leiden: E.J.Brill, 1983 ), 162-5.
[34] Verenidge Oos-Indische Company adalah perkumpulan dagang Belanda yang datang ke Indonesia pada awal 1799.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985), 15-16.
[35] Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter, (Jakarta: Logos, 2001 ), 36
[36] Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, (Jakarta: INIS, 1997 ), 4.
[37] baca Satjipto Rahardjo, Beberapa pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: BPHN dan Alumni, 1985 ), 73
[38] Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat Vol. I.(Jakarta: Pradya Paramita, 1982 ), 9-11.
[39] M.Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), 193.
[40] Compendium Indiansche Wetten Bij de Hoven van Bone en Gowa digagas oleh BJ.Clootwijk yang memerintah Sulawesi tahun 1752-1755, Ismail Sunny “ kedudukan Hukum Islam dalam sistem kenegaraan Indonesia “ dalam Amrullah Ahmad SF.Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional Indonesia : mengenang 65 Tahun Busthanul Arifin, (Jakarta: Gema Insani Press , 1996 ), 131-2.
[41] M.Daud Ali, peradilan,.213, bandingkan pula dengan Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), 13-14
[42] Ibid, hlm.15, lihat juga Daniel S.Lev, Peradilan Agama di Indonesia, terj.Zainal Abidin Noeh, (Jakarta: Intermasa, 1980), 213, juga Kareel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984 ), 167.
[43] Resolusi ini dikenal dengan compendium freijer, sesuai dengan nama penggasnya baca Ahmad Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2000 ), 47.
[44] Selain buku Mugharrar, VOC menetapkan kitab pepakem Cirebon untuk Cirebon.Begitu juga diterbitkan compendium Bone en Gowa untuk peradilan Sulawesi.Lukito, Islamic, 37.
[45] Ahmad Azhar Basyir, “ Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa “ dalam Mahfud MD, (ed.) Pengadilan Agama dan KHIdalam Tata Hukum Indonesia, (Joqjakarta: UII press, 1993), 6.
[46] penjelasan tentang beragam perubahan politik hukum Belanda yang terjadi di Nusantara baca, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta ; Rajawali Press, 1995), terutama Bab I.
[47] Belanda menganggap push factor dan primum mobile pemberontak berasal dari ajaran hukum Islam, terutama ideologi kewajiban Jihad yang terdapat dalam hukum Islam.Gobe`e dan C.Andriansee, Nasihat-Nasihat C.Snouck Horgronje semasa kepegawaian Kepada Pemerintahan Hindia Belanda 1889-1936 (Jakarta: INIS, 1991 ), 740-56.
[48] Depag, Kenang-Kenangan, 9-10.
[49] Masa ini dikenal dengan masa teori Receptie in complexu, yaitu teori yang menyatakan hukum Islam diterima sebagai hukum adat.Pendiri teori ini adalah van den Berg (1869-1877).Kaptein dan Dick van Der Meij, Delapan Tokoh Ilmuwan Belanda bagi Pengkajian Islam Indonesia, terjemah oleh Theresia Slamet (Jakarta: INIS, 1995 ), 1- 4.
[50] Van Apel Doorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta ; Pradya Paramita, 1985), 34-42.Bdk.Bustanul Arifin, “ Pemahaman Syari’ah sebagai Hukum “ dalam Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2000), VII-X.
[51] Soerojo Wignjodiporo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1995). 24. Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, (Jogjakarta Liberty, 1985 ), 40
[52] Wignjodiporo, Pengantar , 24.
[53] Politik penerimaan agama sebagai unsur penting recht finding berakhir setelah Snouck Hourgronje mengeluarkan teori Receptie, yaitu sebuah teori yang menegaskan bahwa hukum agama dapat dijadikan aturan rakyat apabila hukum agama tersebut tidak bertentangan dengan adat rakyat.Lukito, Adat,39
[54] Sudiyat, Asas, 44.
[55] Baca peta kronologis ”Pembangunan Hukum Islam masa Belanda” dalam Soetandiyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta ; Rajawali Grafindo, 1995), terutama Bab I & II.Daniel S Lev.Politik Hukum Hindia Belanda; Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta: LP3S, 1990 ), 246-309.
[56] Sebagai negara yang memiliki tradisi konkordansi yang kuat.Konsep Perumusan dan penemusan hukum memiliki ruang politik yang sangat kuat, yaitu ruang politik praktis dimana kelahiran hukum sangat tergantung pada broker partai politik.Sedangkan penemuan hukum memiliki ruang politik pragmatis dimana Keputusan hukum dianggap “ terwakili “ oleh proses peradilan formil.Baca, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : sebuah pengantar, (Jogjakarta ; Liberty, 1996), 37.A Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Jogjakarta ; Pustaka Pelajar, 2001), 78. Bdk pendapat Von Savigny tentang pembuatan hukum dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung ; Angkasa 1988), 42
[57] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, (Bandung ; Remaja Karya, 1985), 18.
[58] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta ; Gramedia, 2002), 102-153.
[59] Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung ; Sinar Baru, 1983), 18-9.Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung ; Alumni, 1986), 170-1.
[60] Hairul Anwar, Konstitusi dan kelembagaan negara, (Jakarta ; Novindo, 1999) 4-8.
[61] Periksa konstruksi teori rites de passage dalam Richard Martin, an Approachess Islam in Religious study, (Tuckson ; The University of Arizona, 1985), 78-86
[62] Sebelum kedatangan Islam di Indonesia telah ada upaya kodifikasi hukum yang dilakukan penulis Hindu dan Budha, Misalnya kitab Ciwacasana oleh Darmawangsa, Adigama yang ditulis oleh empu Kanaka.Gajah Mada yang berisi tata pemerintahan majapahit yang dirumuskan oleh Gajah Mada Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung ; Tarsito, 1994), 25
[63] kitab ini sebenarnya merupakan petunjuk umum modifikasi upacara adat melayu pra Islam.Panuti Sujiman, Adat raja Melayu (Jakarta ; UI.Press, 1984), 6-7.
[64] M.B.Hooker, Islam in South-East Asia, (Leiden ; E.J.Brill, 1983), 162-5.
[65] Doorland, WA.Newman.Doorland Illustrated Medical Dictionary, (Philladelphia: WB.Saunders Intemational edition, 1988).
[66] Karena pentingnya posisi penelitian yang ialakukan penulisakan mencantumkan sebagian data yang ia gunakan.Muhammad Abdun Nasir, Positifasi Hukum Islam di Indonesia, (1970-2000).(Tesis: PPS IAIN Wali Songo, Semarang, 2002), 25-34.
[67] Ibid.
[68] Periksa Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), 23.
[69] Baca Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 49.
[70] M.Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Moh.Mahfud MD.(ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, UII-Press, Yogyakarta, 1993, hlm.60-61.
[71] Van Appeldom, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pradya Paramitha, 1985), 13-9.Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta : Gramedia, 2002), 197-204.
[72] Stefn Lukes, Three Distinctif Views of Power Compared dalam Michael Hill (ed.), the Policy Process, (Edinburg, Pearson education Limited, 2002), 45.
[73] Abu Bakar bin Hasyim, “Syari’ah dan kodifikasi, pengalaman Singapura”, dalam Suderman Tebba (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiaannya, (Bandung : Mizan, 1993), 113
[74] S.Ali Raza Naqvi, “Problems of Codification of Islamic Law”, dalam M.A.Khan (ed.), Intemational Islamk Conference, vol.I, (Pakistan, Islamk Research Institute, 1970), 40
[75] Michael Foucault, the Archeology of Knowledge and the Discourse on Language, (New York ; Pantheon Paper Back, 1982), 7-10.
[76] Gilbert J.Garaghan, A Guide to Historical Method, (tt.Fordam University, 1940), 209-214.Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, ter.Nugroho Notosusanto, (Jakarta UI-press, 1986), 4-6. Dalam posisi ini, hukum Islam harus dipandang sebagai kontiunitas sejarah, oleh sebab itu mengkaji hukum Islam dalam ranah apapun harus memperhatikan dimensi sejarah guna memamahami bentuk praktek hukum yang pernah dilakukan masyarakat muslim.
[77] Periksa Ayzumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan kekuasaan, (Bandung : Rosda karya, 1999), 3.
[78] Penjelasan lebih lanjut tentang taxonomi kelompok sosial terhadap implantasi hukum Islam periksa Bab I.
[79] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta ; Rake Sarasin, 2001), 57.
[80] Ibid.
[81] Haidar Baqir, dan Zainal Abidin, Filsafat Sains Islami ; Kenyataan atau Khayalan ? dalam M Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, ter.Agus Effendi.(Bandung ; Mizan, 1998), 32
[82] Koento Wibisono Siswomihardjo, Hand out filsafat Ilmu : Ontologi, PPS IAIN Sunan Ampel, 2003.1.
[83] E.Uttrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta ; Balai Buku, 1955), 6
[84] Baca penjelasan konstruksi sosial masyarakt dalam Scott Gordon, the History and Philosophy of Social Science, (London and New York, 1991), 1-15.
[85] Dalam tradisi keilmuwan Islam, kitab suci ini memiliki beragam nama misalnya al-Kitab, al-Furqan, al-Zikr.Subhi al-Salih}, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-‘Ilm al-Malayyin, 1988), 17-21.Akan tetapi perbedaan nama ini pada hakekatnya berhenti pada pengertian al-Qur’an adalah firman yang diturunkan Allah melalui jibril kepada muhammad dan menjadi bukti kenabiannya.‘Abd Wahb al-Khallaf, ‘Ilm ‘Usul al-Fiqh, (Cairo ; Dar al-Qalm, 1978), 23.‘Abd al-Karim al-Zaydan, al-Wajiz fi ‘Usul al-Fiqh (Beirut : Mu’assasah al-Qurtubah, 1987), 152.‘Abu Zahra,‘Usul al-Fiqh (Cairo : Dar al-Fikr al-‘Arabiy,tt), 76.
[86] Muhammad Rafiuddin, the Meaning and Purpose of Islamic Research, dalam Muhammad Muqim (ed.) Research Methodology in Islamic Prespective, (New Delhi : Institue of Objective studies, 1994.) 10.Andrew Rippin, Muslims : Their religious beliefs and Practice Vol.2 (London and New York, Routledge,1995), 52
[87] baca pernyataan politik majlis mujahidin Indonesia.Dalam Risalah Mujahidin, 21 Desember 2000.13.
[88] QS.5.al-Ma’idah, 44-47
[89] QS.2.al-Baqarah, 85.
[90] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Hingga Chapra (Bandung ; Remaja Rosda Karya, 2001), 48.Roni Eli ‘Alf (et.al), Mawsu’ah ‘A’lam al-Falsafah, vol.II (Beirut : Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), 64-5.
[91] Pada tahap ini kalangan filosof sering menyebut dengan Zaman yunani Kuno (6-3 SM.- 6 M).Masa ini melahirkan tiga corak objek kajian filsafat, yaitu Kosmos, antrophos dan sophis.Robert C.Solomon dan Kathleen M.Higgins, Sejarah Filsafat Trans.Saut Pasaribu (Yogyakarta ; Bentang Budaya, 2000), 58-57.Koento Wibisono, Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (Makalah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 16.
[92] Ibid., 12.
[93] Tafsir, Filsafat, 23.
[94] Bahm, Science, 17-22.
[95] Penjelasan lebih lanjut periksa kembali BAB II
[96] Leonard Binder, Islamic Liberalism, (Chicago ; the University of Chicago, 1980, 96.
[97] Baca penjelasan proses pembumian teks keagamaan dalam William A Graham, Qur’an as Spoken Word ; an Islamic Constribution to the Understanding of Scripture dalam Martin, Approacess, 40-21.
[98] Baca kritik epistimologi Islam Literal dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash ; Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut; al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi li al-Tiba’ah wa al-Nasr wa al-Tawzik 1996), 102-5.
[99] Ibid., 24-28.Penjelesan konkrit selanjutnya baca Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nash , al-Sultah wa al-Haqiqah ; al Fikr al-Dini bayn al-Ma’rifah wal Iradah al Haymanah, (al-Markaz al-tsaqofi al-Arabi li al-Tiba’ah wa al-Nasr wa al-Tawzig 1997), 16-22.
[100] Muhammad Arkoun, al-Fikr al-‘Usuli wa al-Istihalah al-Ta’mil Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al- Islami, Ter.Hasyim al-Salih.(Beirut ; Dar al-Saqi, 1999), 308-11.
Belum ada Komentar untuk " Hukum Islam di Indonesia"
Posting Komentar