Revolusi Pendidikan Di Indonesia

KRISIS multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Dan yang paling merisaukan SDM kita sering bertindak tanpa moralitas.

Menurut IMD (2000) Indonesia menduduki peringkat ke-45 (dari 47 negara) dalam hal daya saing. Padahal Singapura berada pada posisi no.2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Daya saing ditentukan oleh mutu SDM. Ditinjau dari segi mutu SDM, Indonesia menduduki peringkat 46. SDM Indonesia ternyata kurang menguasai sains dan teknologi, dan kurang mampu secara manajerial. Dalam kedua hal ini Indonesia mendapat nomor urut 42 dan 44.

Penelitian lain mengungkapkan, produktivitas SDM Indonesia rendah, karena kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Di samping itu, semua kita harus malu karena banyak pusat kajian menggolongkan Indonesia pada kelas amat wahid dalam hal korupsi. Korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan kebohongan, ketidakjujuran, bahkan dengan ketidakadilan dan pemerasan. Semua itu tanda-tanda kemerosotan bahkan kebejatan moral.

Tidak adil apabila kita hanya mempersalahkan dunia pendidikan. Karena kemerosotan turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya media massa. Namun, tetap benar institusi yang ex officio bertanggung jawab terhadap pembinaan SDM adalah dunia pendidikan. Oleh sebab itu, penting sekali negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasihat peneliti McDougall: invest in man not in plan.

Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan. Kita harus menjungkirbalikan paham dan nilai yang ada, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru.

Belajar untuk Apa?

Pada tempat pertama semua kegiatan pendidikan harus diarahkan dengan jelas dan tegas kepada tujuan pendidikan. Kita belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi untuk hidup (sed vitae discimus). Sistem pendidikan di Indonesia sudah mengubah sama sekali adagium kuno ini. Kita belajar bukan untuk hidup melainkan untuk sekolah. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus. Sekolah menentukan metode belajar-mengajar. Sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan, wisuda sampai dengan pakaian (bahkan sepatu) seragam. Sekolah menentukan uang pangkal, uang sekolah, sumbangan ini dan itu.

Masyarakat mengikuti apa yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat semuanya itu, ditinjau dari segi pencapaian tujuan pendidikan. Banyak hal yang ditentukan sekolah merupakan ritus hampa (Ivan Illich), yang sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan pendidikan.

Ambillah sebagai contoh mata ajaran Pendidikan Agama (dapat ditambah dengan P4 dahulu dan Budi Pekerti). Dua jam per pekan, sekian puluh jam per tahun, sekian ratus jam per jenjang sekolah. Tetapi hasilnya? Mengecewakan!

Kita memperoleh sekian banyak orang yang menghapal dan mungkin juga memahami ajaran dan tradisi keagamaannya, tetapi sama sekali tidak menjalankannya di dalam hidupnya. Padahal tujuan pendidikan agama bukannya penumpukan pengetahuan tentang agama melainkan pembinaan sikap dan perilaku seorang beriman sejati. Tujuan ini dapat tercapai tanpa menjejalkan sekian banyak pengetahuan ke dalam benak (atau bahkan ingatan!) murid.

Berkaitan dengan tujuan pendidikan paradigma lama terlalu abstrak dan kurang "operasional". Ia harus lebih dikonkritkan. Tujuan pendidikan adalah kepribadian mandiri, yang mampu menata kehidupan dan penghidupannya di dalam sikon hidup konkrit dan kontemporer. Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diperoleh karena murid menguasai satu atau satu jenis pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Dengan demikian ia dapat memasuki pasar kerja atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri. Menguasai satu/satu jenis pekerjaan merupakan tujuan penting yang tidak boleh diabaikan.

Sistem pendidikan memang tidak berkewajiban mencari atau memberikan lapangan kerja kepada murid.

Akan tetapi ia berkewajiban mempersiapkan murid untuk memasuki lapangan kerja tertentu atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri.

Keterkaitan antara pasar kerja dan pendidikan merupakan masalah besar yang harus ditanggapi secara serius. Tiap hari koran-koran menawarkan berbagai lapangan kerja. Tetapi para pelamar "mundur teratur", karena merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang dituntut. Sekolah sama sekali tidak menyiapkan mereka untuk itu. Sekolah tidak merasa perlu mendidik orang yang fasih berbahasa Inggris, padahal banyak iklan menuntut: fluent in English. Masyarakat modern membutuhkan orang-orang yang melek komputer.

Sekolah merasa sudah puas dengan manusia melek huruf, penguasaan komputer menjadi urusan "kursus-kursus". Sebaliknya ada hal-hal yang tidak perlu, tetapi karena masih tercantum dalam kurikulum tetap diajarkan. Akademi Sekretaris misalnya masih sangat mengutamakan penguasaan Steno Karundeng, padahal alat perekam sudah menggeser kedudukan Steno. Semua itu menunjukkan bahwa paradigma lama: pendidikan sebagai penyalur dan pengawet kebudayaan sangat diperhatikan, sedangkan paradigma pendidikan sebagai agen perubahan dan modernisasi, diabaikan.

Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diterapkan bukan di wilayah tak bertuan, melainkan di dalam sikon konkret di Indonesia. Sikon itu tidak sama dan tidak seragam dari Sabang sampai Merauke. Ada keanekaan tantangan situasi hidup konkrit di wilayah Indonesia yang begitu luas dan bervariasi. Tiap wilayah/daerah memiliki ciri khas. Ciri itu dapat dikaitkan dengan keadaan geografis dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada wilayah agraris lahan kering, ada wilayah agraris lahan basah; ada wilayah maritim dengan berbagai kekayaannya; ada wilayah industri ringan/berat, industri pariwisata dan lain-lain.

Selain keanekaan wilayah ada lagi variasi besar kemajuan yang telah diraih tiap wilayah. Ada wilayah yang baru keluar dari zaman batu atau pola hidup normal dengan ekonomi barter; ada yang sudah di tengah budaya industri bahkan pascaindustri. Dan di mana-mana sudah terasa trend globalisasi dengan pengaruh iptek dan teknologi. Situasi yang berbeda-beda mengakibatkan tuntutan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula.

Sebab itu harus dikembangkan variasi yang seluas-luasnya di dalam penataan pendidikan dan pengajaran. Ada variasi kurikulum, variasi metode mengajar-belajar, variasi jenis sekolah dengan variasi pengetahuan dan keterampilan yang dialihkan. Di samping itu, semua harus diperhatikan juga tuntutan globalisasi dengan trend iptek yang makin mendunia. Ini semua mewajibkan kita meninggalkan paradigma pola tunggal dan uniform.

Kebhinekaan

Kita wajib mengusahakan kebhinekaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang berbeda-beda. Untuk menghadapi tantangan yang berbeda-beda demikian pula trend masa depan, wajib dibuat semacam analisis swot, sehingga kita mendapat peta keada- an yang cukup realistik. Berdasarkan analisis itu dibuat rencana induk pendidikan seluruh bangsa dan tiap wilayah.

Temuan peneliti Harvard pada awal dasawarsa 80-an wajib dicermati. Penelitian longitudinal Howard Gardner cs menemukan bahwa keberhasilan seseorang di dalam hidup bukan ditentukan oleh IQ tetapi terlebih oleh EQ, kecerdasan emosional dengan kompetisi inter- dan intrapersonal. Di samping EQ ada lagi kecerdasan lain yang berperan seperti SQ dan AQ.

Kalau dunia pendidikan ingin membantu murid menata kehidupan dan penghidupan dengan berhasil, maka mata ajaran/pelatihan, proses pembelajaran dan interaksi di sekolah harus melowongkan waktu yang lebih banyak bagi pengembangan potensi-potensi lain di luar IQ. Sekarang ini semua diarahkan kepada pengembangan kemampuan intelektual/akademis. Kemampuan lain kurang diperhatikan. Paradigma akademis harus didampingi dengan paradigma keterampilan hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan masyarakat.

Kecerdasan intelektual juga tidak boleh direndahkan menjadi kemampuan merekam dengan ingatan (seperti yang lazim terjadi sekarang ini), dan juga tidak boleh terbatas hanya kepada kemampuan berpikir logis perseptif, dan logis konvergen. Harus diberdayakan kemampuan berpikir kritis, divergen, kreatif dan inovatif. Hanya manusia Indonesia yang kritis dan kreatif dapat menghasilkan inovasi di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa.

Kurikulum yang begitu padat masih menghantui para guru di sekolah-sekolah kita. Sejak beberapa waktu lalu sudah mulai diadakan perampingan kurikulum, dan belakangan ini orang berbicara tentang kompetisi dasar. Kita harus mengubah paradigma penumpukan materi dengan paradigma pemberdayaan potensi peserta didik. Sejalan dengan itu metode "sekolah dengar" harus diganti dengan metode sekolah aktif yang mengutamakan swakarsa dan swakarya murid.

Yang penting bukannya menjejalkan sebanyak mungkin materi ke dalam benak murid, melainkan memicu murid menggunakan potensi-potensinya, sehingga potensi itu berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan potensi jauh lebih penting daripada pencekokan materi. Untuk itu materi diciutkan, sehingga tersedia lebih banyak waktu untuk melatih, memberdayakan potensi.

Kompetisi yang paling dasar adalah kemampuan belajar sendiri. Oleh sebab itu sebelum diajarkan berbagai ilmu, diajarkan lebih dulu cara belajar sendiri. Untuk itu, perlu dikembangkan metode pembelajaran yang disebut pola proses. Pola proses mengutamakan peserta didik sendiri memanfaatkan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghadapi sesuatu.

Tidak terlalu bermanfaat menerima dan menabung sejumlah pengetahuan yang disajikan "satu arah" dari pihak guru. Yang lebih penting adalah mendorong murid dengan bahan yang terseleksi untuk mengerjakan sesuatu dengan potensinya. Pola penyajian bahan jadi yang tuntas harus diganti dengan pola pelontaran dan penyelesaian masalah (problem posing, problem solving). Satu masalah yang dekat dengan hidup diangkat dan dipelajari serta dicarikan penyelesaiannya oleh para murid baik sendiri-sendiri maupun dalam kerjasama kelompok. Daya serap tidak lagi menjadi tuntutan utama. Daya tanggap peserta didik dan keterampilannya untuk menghadapi sesuatu harus menjadi fokus proses pembelajaran.

Kunci Utama

Mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan mutu tenaga kependidikan, khususnya tenaga pengajar. Hasil penelitian LPTK se-Indonesia seperti dilaporkan dalam Musyawarah Nasional LPTK di Bandung (1994) menunjukkan bahwa selama hampir dua dasawarsa terakhir, yang "memilih" masuk IKIP/LPTK bukannya kelompok top ten melainkan bottom ten dari lulusan SMU, dengan perbedaan skor yang sangat signifikan antara pelamar. Universitas dan pelamar IKIP/LPTK. Itu berarti bahwa pendidikan anak bangsa diserahkan kepada para pendidik yang mutunya tidak terlalu dapat dibanggakan.

Dapatkah kita membulatkan tekad untuk menjaring anak-anak bangsa terbaik untuk menjadi pendidik dan pengajar? Kalau begitu harus ada pula kebijakan yang meningkatkan pamor dan status sosial para guru/pendidik. Jaminan kesejahteraan guru dan jaminan-jaminan sosial lain harus ditingkatkan, agar angkatan muda top ten juga berminat untuk menjadi pengajar/pendidik.

Kecuali itu harus ada kebijakan yang jelas mengenai pendidikan guru. Kebijakan sekitar IKIP/LPTK yang kemudian dijadikan universitas menunjukkan bahwa kita tidak memiliki arah yang jelas. Bagaimanapun dari seorang pengajar dan pendidik dituntut: penguasaan materi ajaran, dan penguasaan pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan/pengajaran. Proses pembelajaran di lembaga pendidikan guru harus mengupayakan kedua hal ini secara imbang.

Mengingat tugas pendidik/pengajar bukan hanya mengasah otak, tetapi terutama membina kepribadian, maka mereka diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan menarik. Untuk itu diusulkan agar pendidikan guru dilaksanakan dalam asrama. Pembinaan dalam kebersamaan satu asrama di bawah bimbingan pendidik yang kompeten, diharapkan lebih ampuh menghasilkan tenaga yang berkepribadian. Sejarah pendidikan guru di masa lampau memang telah membuktikan hal ini.

Akhirnya revolusi pendidikan hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan dibebaskan. Para penyelenggara dan pengelola pendidikan harus dibebaskan dari cengkeraman etatisme yang berlebihan. Sekarang ini dunia pendidikan ditentukan hampir seluruhnya oleh Negara (=Etat, Prancis) dengan aparat birokrasinya. Tidak boleh dilupakan bahwa hak mendidik pada tempat pertama ada pada orang tua yang melahirkan anak dan kemudian pada masyarakat. Hak ini terlalu kurang diperhatikan.

Semua diserahkan kepada negara dan pejabatnya. Penentuan kebijakan oleh Negara lebih memperhatikan aspek-aspek politis-administratif daripada aspek pedagogis, psikologis dan metodologis. Penyelenggara dan pengelola pendidikan yang umumnya terhimpun dalam Yayasan Pendidikan harus diberi kebebasan untuk berprakarsa dan mengupayakan pendidikan yang paling sesuai dengan tuntutan zaman.

Negara menggoreskan kebijakan dan petunjuk umum, yang merupakan rambu-rambu penjamin hak-hak warga sehubungan dengan pendidikan. Di luar itu segala sesuatu diserahkan kepada kebijakan penyelenggara dan pengelola. Mereka akan menyusun rencana dan strategi untuk menyajikan pendidikan yang paling baik dan paling relevan. Ada cukup banyak penyelenggara dan pengelola yang bermutu dan bertanggung jawab.

Penilaian Masyarakat

Mereka akan melaksanakan tugas mendidik dengan baik dan efisien, apabila tidak terlalu dibatasi oleh ketetapan/keputusan penguasa (politis!). Penyelenggara, pengelola, serta sekolah itu sendiri akan dinilai terus menerus oleh masyarakat berdasarkan mutu tamatannya. Penilaian ini lebih menjamin mutu yang sebenarnya dan bukannya mutu di lembar kertas resmi.

Untuk meningkatkan peran masyarakat dianjurkan agar diadakan Dewan-dewan pendidikan daerah, sesuai dengan kesamaan kebutuhan/kepentingan. Dewan-dewan akan bermusyawarah sendiri-sendiri pada waktunya dan sesudah itu bersama-sama di tingkat nasional. Yang ditentukan secara nasional dijadikan acuan bersama. Karena yang ditentukan secara nasional turut dipertimbangkan oleh daerah, maka diharapkan agar kebutuhan dan kepentingan daerah sudah terakomodasi. Dengan demikian paradigma top down kita gantikan dengan bottom up.

Dalam waktu dekat Indonesia akan memilih pemimpin nasionalnya. Penulis mengimbau pemimpin terpilih untuk mengambil langkah revolusioner dengan membebaskan jenjang wajib belajar 9 tahun dari segala pungutan biaya. Kebijakan ini sesuai dengan amanat UU Sisdiknas 2003 Pasal 34 Ayat (2) dan (3), dan lebih lagi sesuai dengan amanat Pembukaan UUD yang mewajibkan negara mencerdaskan bangsa. Sekaligus Pemerintah menjadi pelopor penegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena de facto biaya sekolah yang mahal sudah turut memperlebar kesenjangan sosial, dan karena itu turut "menyemarakan" ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial akan terus terjadi apabila masih terjadi diskriminasi, karena kesempatan bersekolah (di sekolah yang bermutu!) tidak diberikan kepada semua. Maklum, melalui pendidikan yang baik manusia diberdayakan untuk memperbaiki nasibnya sendiri

Belum ada Komentar untuk "Revolusi Pendidikan Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel