Hukum Islam di Indonesia

Historis Hukum Islam di Indonesia


A.  Latar Belakang masalah

Walaupun  merupakan  bagian  integral  syari’ah  Islam  dan  memiliki  peran  signifikan,  kompetensi  dasar  yang  dimiliki  hukum  Islam,  tidak  banyak  dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian  besar  kalangan  beranggapan,  tidak  kurang  diantaranya  kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off  to  date  dalam konsep hokum Islam.Ketakutan  ini  akan  semakin  jelas  adanya  apabila  mereka  membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.

Kesan  di  atas  akan  semakin  jelas  terlihat  pada  arah  baru  perkembangan hukum  pidana  Islam,  berbagai  kalangan  menganggap  hukum  pidana  tersebut memiliki banyak muatan illegal sehingga membutuhkan reformasi dalam konsepnya[1]. Sebagian  yang  lain,  dengan    logika  yang  lebih  santun,  menggagas  reinterpretasi doktrin hukum Islam.Hukum Islam membutuhkan penyegaran dan membutuhkan penafsiran baru agar lebih sesuai dengan perkembangan modern.Demikian pesan yang diberikan Syahrur dengan konsep Had al-‘A’la- nya[2].

Bagaimana  dengan  perkembangan  hukum  pidana  Islam  di  Indonesia? Pertanyaan ini sudah seharusnya diajukan sebab kedudukan hukum perdata Islam telah  terjalin  secara  luas  dalam  hukum  positif[3],  baik  hal  itu  sebagai  unsur  yang mempengaruhi  atau  sebagai  modifikasi  norma  agama  yang  dirumuskan  dalam peraturan perundang-undangan keperdataan, bahkan tercakup dalam lingkup hokum substansial dari UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.Sedang hukum Islam dibidang  kepidanaan-  untuk  menyebut  lain  dari  hukum  pidana  Islam-  belum mendapat tempat seperti bidang hukum keperdataan Islam.Selain itu, berbagai kajian akademik yang ada seringkali bersifat politis dan memperlebar jarak pemahaman hukum pidana positif dengan hukum Islam bidang kepidanaan. 
Dalam  perspektif  makro-historis,  kemajemukan  hukum  merupakan  realitas sejarah  yang  tidak  dapat  dihindarkan.Mazhab  Posivisme  berpendapat,  bahwa:  the development of law formalized for the sake of the law only.Kalangan ini menolak keras campur tangan politik dalam hukum, hukum demi hukum, ilmu hukum  berbentuk value-free science sedangkan ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu sosial berbentuk value-loaded science.Dalam pandangan kelompok ini prosedur penemuan, pembentukan, dan pelaksanaan hukum berjalan dalam bingkai aparat hukum an sich, hukum hanya dapat ditemukan  melalui  keputusan  hakim  saja.Adapun  proses  pembentukan  hokum dibatasi pada produk legitimator yang disahkan undang-undang[4]. law  is  a  command  of the law giver[5].

Mazhab hukum di atas sudah tentu memiliki kontradiksi dengan mazhab lain, yakni  mazhab sosiologis[6]. Dalam pandangan mazhab ini, the contruction of law constructed and  formalized  for  the  sake  of  social  interest.Jadi hukum harus melayani masyarakat. Oleh sebab itu, hakim tidak dapat menggarap kebutuhan hidup secara memuaskan hanya dengan  konstruksi  logika  hukum  semata.Hakim,  sebagai  penegak  hukum  dan keadilan, berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.Selain itu, untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta[7].
Dalam  perkembangan selanjutnya, mazhab  legisme ternyata  lebih  dominan dalam penemuan hukum pidana Indonesia.Hal ini dapat kita ketahui dari intensitas perundangan  yang  dilahirkan  otoritas  politik  lebih  banyak  dibandingkan  dengan undang-undang yang diusulkan oleh masyarakat.Sebagai konsekwensi dari  realitas ini, cita hukum yang terdapat dalam masyarakat sangat sulit terpenuhi. Masyarakat adalah objek hukum, bukan subjek yang memiliki kepentingan atas hukum.Tidak terkecuali diantaranya  adalah  meningkatnya  gejala  implantasi  norma-norma  hukum  Islam  di Indonesia.

Peraturan-peraturan  yang  terdapat  dalam  Islam  sangat  unik  dan  sangat berbeda  dengan  peraturan  hukum  pada  umumnya.Perbedaan  yang  menyolok  ini muncul dari integrasi masalah privat  dan publik dalam satu pembahasan[8], integrasi hukum  dengan  norma  agama,  dan  integrasi  kompetensi  pelaksana  dan  penafsir hukum sekaligus[9]. Dengan demikian, dapat kita pahami jika formal hukum yang terdapat dalam ketentuan Islam selalu berbeda-beda, baik dalam hal ikatan waktu maupun  ruang  juridiksinya.Perbedaan  yang  terdapat  dalam  formal  hukum  Islam inilah yang menyebabkan akomodasi permasalahan hukum selalu disikapi elastis[10].

Beberapa sifat perbedaan di atas berakibat langsung pada akomodasi kaum Muslimin  terhadap  berbagai  persoalan  pidana.Pada  umumnya,  sikap  akomodasi hukum  Islam,  mengikuti  mains  tream  pemikiran  dewasa  ini,  dibagi  dalam  dua kelompok  besar.Pertama,  kelompok  Islam  literal  yang  meyakini  hukum  Islam mencakup  teknis  formal  dan  material  hukum  secara  mutlak.Kelompok  ini berkeinginan melaksanakan hukum Islam sebagai satu totalitas kewajiban[11], sehingga bentuk pelaksanaan akomodasi hukum kalangan literal ini lebih bersifat justifikasi terhadap perbuatan hukum[12]. Kedua, kalangan Islam liberal yang menganggap hokum Islam mengatur semangat moral Tuhan. Kelompok ini menafikan formalitas dan materiil hukum[13]. Dalam pandangan kelompok ini, pelaksanaan hukum Islam cukup dengan mengakomodasi batasan-batasan  etik hukum saja[14].Walaupun  terkesan  sederhana,  taxonomi  praktek  hukum  Islam    di  atas memiliki berbagai keterbatasan, sebab memahami praktek hukum Islam di suatu wilayah  tidak  dapat  dipisahkan  dengan  memahami  karakter  penyebaran  Islam.

Hubungan  antara  praktek  hukum  Islam  dengan  agama  Islam  dapat  diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya[15]. Oleh sebab  itu,  untuk  membicarakan  perkembangan  hukum  Islam  di  Indonesia  erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia.Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra penjajahan dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia.

Dalam  proses  penyebaran  Islam  di  Indonesia,  terdapat  dua  pendekatan tentang metode penyebaran agama.Pendekatan pertama adalah : Akulturasi pragmatis budaya  Indonesia.Melalui  pendekatan  ini  budaya  Indonesia  diupayakan  bercorak Islam, upaya  akulturasi ditempuh oleh kalangan elit Islam awal yang menyebarkan Islam di Indonesia.Kalangan ini biasanya berasal dari kalangan pedagang dan para pengelana  yang  kebetulan  singgah  di  Nusantara.Penyebaran  hukum  Islam  yang dipraktekkan pedagang tidak semata-mata berupa doktrin dan ajaran-ajarannya saja, tetapi  langsung  pada  aplikasi  dogma  hukum-hukumnya.Sehingga,  menimbulkan kebiasaan baru bagi warga pribumi yang bercirikan Islam.

Kuatnya proses akulturasi hukum Islam dan adat pribumi dapat kita ketahui dari berbagai pepatah adat yang menempatkan syariat  Islam  sebagai  akar  perilaku  sosial  yang  berkembang  dalam masyarakat, seperti apa yang tampak pada pepatah adat daerah Minangkabau adat basandi  syarak,  syarak  basandi  kitabullah  (Adat  bersendi  syara  dan  syara  bersendi kitabullah). Dari  pepatah  adat  tersebut  tersirat  pengertian  bahwa  masyarakat Minangkabau menempatkan al-Qur’an sebagai dasar bagi pengaturan tingkah laku sosial  dan  sebagai  sumber  hukum  yang  menjadi  pedoman  dalam  berbagai  segi kehidupan sosial.Dalam pepatah lain disebutkan pula: Adat dan syarak sanda-menyanda, syarak mengato adat memakai (Adat dan syara’ saling menopang, syara’ menyatakan adat memakaikan).Ini berarti adat dan hukum Islam saling menguatkan.Gejala akulturasi serupa banyak kita jumpai pada masyarakat adat Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung  dan  daerah-daerah  lain  di  Nusantara  yang  mayoritas  penduduknya beragama Islam[16].

Selain  proses  akulturasi  pragmatis  yang  dirintis  para  penyebar  Islam  awal, proses  legalisasi-dogmatis  hukum  Islam  juga  nampak  diberbagai  kerajaan  Islam Nusantara.Pergeseran praktek akulturasi kepada legalisasi hukum Islam terjadi pasca pendirian berbagai kerajaan Islam di Nusantara.Kalangan elit kerajaan menggunakan kekuatan,  birokrasi  dan  hegemoni  kultur  politik  dalam  proses  internalisasi  norma Islam[17]. Praktek birokrasi hukum Islam dapat kita ketahui dari legalisasi hukum Islam yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Islam Indonesia.Misalnya, apa yang ditulis oleh Ibn Batutah mengenai hukum Islam di Ace Menurut Ibnu Batutah, Sultan al-Malik al-Zahir tidak dapat dipandang sebagai figur raja semata.Selain sebagai raja, sultan juga seorang ahli fiqih mashab Syafi’i yang banyak dianut masyarakat Pasei  hal senada juga disampaikan Marcopollo ketika singgah di Peurela (Perlak). Sultan telah mendamaikan adat Istiadat Aceh dengan ajaran Islam[18] dan praktek positivasi hukum Islam ala kerajaan Islam Aceh inilah yang mempunyai pengaruh besar kepada praktek hukum Islam di kerajaan-kerajaan  Islam Indonesia[19].            
                                  
Selain praktek legalisasi hukum Islam ala Aceh[20], seorang mufti kerajaan Islam Banjar, Syeh Arsyad Banjari, juga melakukan legalisasi hukum Islam melalui buku Sabil  al-Muhtadin.Kasus serupa juga kita ketahui legalisasi kitab simbur cahaya yang terdapat di  Kesultanan Palembang.Selain tiga kerajaan di atas kerajaan Islam Banten juga melakukan legalisasi hukum Islam yang dijadikan rujukan umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum mereka[21]. Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh kaum muslimin di beberapa kerajaan, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel dan kemudian Mataram[22]. Seperti ditemukannya beberapa kitab hukum antara lain Kutaragama dan Sajin al-Hukm[23].

Segregasi akulturasi  pragmatis dan legalisasi  dogmatis hukum Islam nampaknya berakhir setelah keberhasilan pangeran Ransang melakukan perubahan doktrin politik kerajaan Mataram[24]. Misalnya, legitimasi pemerintahan seorang raja diperoleh dari Tuhan[25], raja merupakan wakil Tuhan di bumi[26], oleh sebab itu, seluruh yang ada di bumi harus taat dan tunduk kepada raja[27]. Sedangkan peraturan-peraturan kerajaan harus sejalan dengan kehendak tuhan yang bersumber dari al-Qur’an dan rasulnya[28].

Sebagai konsekwensi dari legitimasi nomokrasi tersebut, Seorang raja ideal adalah seseorang  yang  memiliki  otoritas  perintah  dan  kompetensi  hukum  yang  tidak terbatas, sabda seorang raja dianggap bentuk komunikasi tuhan kepada ummatnya, sabda atau keputusan raja diikuti tanpa perlu judicial  review  apakah sabda tersebut sesuai atau tidak terhadap akar masalah[29] Konsep sabda  pendika  ratu muncul sebagai akibat dari legitimasi raja dalam pandangan masyarakat Indonesia berasal dari wahyu tuhan yang diberikan kepada hambanya yang terpilih[30].
Walaupun pada hakekatnya banyak kerajaan Islam telah mempelopori positifikasi hukum Islam, akan tetapi dalam tataran praktek hukum, masing-masing kerajaan mempunyai sistem yang berbeda. Dalam kajian yang dikembangkan M.B Hooker,  praktek hukum  yang terdapat di kerajaan  Islam  Indonesia dibedakan dalam tiga bentuk,  sedangkan  akar  perbedaan  praktek  penerapan  hukum  dipengaruhi  oleh akomodasi norma hukum awal ( adat ) yang telah berkembang sebelum kedatangan norma  hukum  Islam[31].  Adapun  tiga  bentuk  praktek  hukum  Islam  di  Nusantara sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan berikut.

Pertama, pola Islam  law  as  expression  of  public  law.Praktek ini terdapat di kerajaan-kerajaan  Islam  perairan  Malaka[32].  Kedua.Islam  law  as  of  phillosophy  of  law  and Life.Praktek  ini  terdapat  di  kepulauan  Sumatra  bagian  Barat  terutama  di Minangkabau,  sedangkan  praktek  jenis  ketiga  adalah  praktek  Islam  law  as  parallel System.Praktek hukum Islam sebagaimana bentuk aslinya ini nampak pada upaya-upaya pengumpulan hukum Islam dalam satu buku yang dapat dijadikan pedoman kerajaan.Misalnya pembuatan pepakem di Cirebon dan kitab surya alam di Palembang[33].
Eliminasi Hukum Perdata Islam Masa Penjajah
Dalam banyak kajian, perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan sangat dipengaruhi oleh politik pemerintahan Belanda.Pada awal kedatangannya, Belanda telah melihat hukum Islam dipraktekkan masyarakat nusantara, baik dalam peradilan, praktek  harian  maupun  keyakinan  hukum.Sikap  politik  VOC  terhadap  Islam dipengaruhi oleh kepentingan perdagangan rempah-rempah dan perluasan pasar[34].
Oleh sebab itu, exsistensi hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak berubah seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan  pemerintahan  kerajaan  Islam  masih  mempunyai  wewenang  legislatif[35]. Selain faktor di atas, penyebab utama kebijakan toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah,  perhatian  utama  kompeni  terhadap  Islam  hanya  bersifat  temporal  dan kasuistik, yaitu pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa keagamaan yang menyolok[36]. 

Kebijakan hukum Deandles misalnya, sebagaimana yang tertuang dalam Charter  voor  de  aziastisce  bezittingen  van  de  bataafsce republiek, Pasal 86 :“  De  rechtspleging  onder  den  Inlander  zal  blijven  geschieden  volgens  hunne eigenne wetten en gewoonten.Het  Indische bestuur zal door gepaste middelijn zoergen dat dezelve in die  territoiren,  welke  onmiddelijk  staan  onder  de  opperheerschappij  van  den  staat,  soveel  mogelijk worde gezuiverd van ingenslopen misbruiken, tegen den inlandsche wetten of gebruiken strijdende, en het bekomen van spoedige en goede justitie,....”[37] Sikap  toleransi  di  atas,  pelan  tapi  pasti  kemudian  berakhir  seiring  dengan diterimanya octrooi oleh VOC dari staten general pada tahun 1602.Dalam pasal 35 octrooi tersebut, VOC mendapat kekuasaan untuk mengangkat officieren van justitie. Pada waktu pengangkatan dari gouverneur  general  ( wali negeri ) yang pertama serta Dewan Hindia pada tanggal 27 November 1609.Dewan ini  juga diperintahkan menengahi perkara perdata  maupun  pidana[38]. 

Oleh  sebab  itu,  beberapa  wilayah  VOC  di  nusantara memberlakukan unifikasi hukum walaupun pada perkembangan selanjutnya unifikasihukum tersebut gagal. Sebagai akibat dari kegegalan tersebut, pada tahun 1642 VOC mengukuhkan statuta Batavia dan memberikan legitimasi juridis praktek pembagian waris Islam masyarakat Indonesia[39]. Pengakuan tersebut kemudian diikuti dengan pengakuan  praktek  hukum  Islam  di  daerah  lain,  yaitu  praktek  hukum  Islam masyarakat Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan[40].

Beberapa kordinat positif yang ditunjukkan VOC tersebut tidak dapat dilepaskan dari  pemahaman  VOC  terhadap  living  law  yang  dipraktekkan  masyarakat Indonesia.Aspek ini dapat kita ketahui ketika VOC meminta D.W.Freeijer menyusun konpendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah disempurnakan oleh para penghulu dan ulama, kitab hukum tersebut diterima oleh VOC tahun 1760.Kitab yang disusun oleh Freeijer dikenal dengan nama Compendium Freeijer.
Selain Compendium  Freeijer,  VOC juga membuat beberapa buku kodifikasi yang lain. Misalnya, kitab Mogharraer  untuk Pengadilan Negeri Semarang.Kitab hukum ini perihal kitab hukum jawa yang berasal dari kitab Al-Muharrar.Selain itu, ada juga kitab hukum lain, yaitu Pepakem  Cirebon  yang berisi kumpulan hukum jawa yang tua-tua, yang diterbitkan kembali oleh Hazeu tahun 1905 dan juga peraturan yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas prakarsa B.J.D.Clootwijk[41]. Pasca dibentuknya beberapa kodifikasi hukum tersebut.Melalui  Stbl. Tahun 1882 Nomor 152, Belanda mengakomodasi praktek formil masyarakat dengan membentuk Pengadilan  Agama,  yang  disebut  priesterraad  atau  berarti  pengadilan pendeta,.Priesterraad  ini  dibentuk  di  setiap  wilayah  landraad  atau  Pengadilan Negeri.Pengadilan ini menangani antara perkara orang Islam dengan memakai hukum Islam[42]. Sebelum keluarnya  Stbl.Tahun 1882 Nomor 152,  sebenarnya Belanda telah beberapa kali melakukan pengawasan terhadap jalannya hukum Islam, meski di sisi lain  menunjukkan  kepedulian  pada  pengaturan  eksistensi  hukum  Islam  dan lembaganya.

Puncak  pengakuan  VOC  terjadi  pada  masa  pemerintahan  Gubernur  Jendral Jacob Mossel ( 1750-1761 ), ketika ia meminta seorang pakar hukum Belanda untuk menyelidiki  living  law  Indonesia.Hasil  dari  kajian  inilah  yang  mendorong  lahirnya resolutie  der  Indische  regeering  yang memperluas praktek hukum perkawinan Islam dan tidak  terbatas masalah waris saja[43]. pemerintahan VOC mulai menata peradilan dan memberikan kitab rujukan putusan perkara, yaitu buku Compendium  der  Voornaamste Javaansche  Wetten  Nauwkeurig  getrokken  uit  Het  Mohammedhaansche  Wet  Book  Mogharer  sebagai  pegangan  di  peradilan  agama  Semarang[44].  Sekilas,  gambaran  di  atas menunjukkan  bagaimana  perhatian  positif  yang  dipraktekkan  VOC. Padahal, pengakuan yang diberikan merupakan reaksi atas kegagalan badan peradilan VOC yang diperkenalkan sebelumnya[45].
Setelah masa pemerintahan VOC berakhir, terjadi perubahan sikap politik hukum Belanda, perubahan sikap politik hukum terjadi setelah Belanda menyadari ancaman terhadap  kekuasaan  Belanda  yang  berasal  dari  beberapa  pemberontak  Islam[46]. Mulailah  kebijakan  positif  hukum  Islam  ditinjau  ulang,  peninjauan  ini  dilakukan karena setiap pemberontakan terhadap kompeni muncul sebagai akibat pengaruh hukum Islam.Sehingga, dengan melakukan eliminasi praktek hukum Islam, potensi pemberontakan diharapkan dapat berkurang[47].
Adapun upaya Belanda dalam menghapus pengaruh praktek hukum Islam bagi masyarakat  pribumi  diwujudkan  dalam  tiga  bentuk.Pertama,  dikotomisasi,  dalam tataran  ini  Belanda  mulai  mempersoalkan  integrasi  hukum  Islam  dengan  adat masyarakat.Kedua,  marginalisasi,  Belanda  menggagas  ilmu  hukum  baru  yang diharapkan  dapat  menggeser  ilmu  hukum  Islam.Sedangkan  yang  ketiga  adalah, eliminasi, yaitu pembatasan kompetensi absolut peradilan agama.

Dalam  hal  integrasi  hukum  Islam  dengan  praktek  masyarakat,  tahun  1838 Belanda  menunjuk  Scholten  van  Oud  Haarlem  memimpin  komisi  penyesuaian undang-undang  Hindia  Belanda  dengan  penduduk  pribumi,  pada  tahun  1882 Scholten menyampaikan nota yang ia berikan pada pemerintahan Hindia Belanda, Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan, jika dilakukan pelanggaran  terhadap orang bumi putera dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya  agar  mereka  itu  tinggal  tetap  dalam  lingkungan  (  hukum  )  agama  serta  adat Istiadat  mereka.Pendapat  tersebut  ditindak  lanjuti  dengan  mendirikan  priestraad Indonesia pada tahun1882[48].
Praktek integrasi praktek hukum Islam mulai dipersoalkan pada tahun 1889 dan mulailah  dikembangkan  keyakinan  bahwa  hukum  Islam  sangat  berbeda  dengan praktek adat masyarakat,[49] Hal ini dibuktikan dari penyimpangan  ajaran hukum Islam dalam praktek waris Minangkabau.Dalam anggapan Belanda, harus dibedakan mana yang dapat disebut hukum agama dan berasal dari tuhan serta mana yang harus dianggap hukum adat berdasarkan de noormative kracht van het fetelijk gebeuren[50].

Bentuk  kedua  marginalisasi  ilmu  hukum  Islam.Upaya  ini  diwujudkan  dengan munculnya ilmu hukum adat.Pembentukan ilmu Hukum Adat dimulai dari periode Van Vollenhoeven, yaitu pengarang buku Het  Ontdekking  van  Het  Adat  Recht,  hingga sekarang.Dalam buku Van Vollenhoeven disebutkan bahwa yang dimaksud dengan  ilmu hukum adat adalah ilmu yang mempelajari hukum yang tidak bersumber dari peraturan pemerintahan Hindia Belanda atau pemerintahan sebelumnya[51]. Definisi hukum  adat  di  atas  tentu  amat  rancu.Sebab,  dalam  sejarah  hukum  Indonesia, masyarakat mengikuti ketentuan yang digariskan agama.Tidak ada norma yang dianut masyarakat  Indonesia  terkecuali  mengikuti  konsep  kepercayaan  masyarakat. Oleh sebab itu, Istilah hukum adat sendiri sangat asing dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat Indonesia[52].

Upaya Van Vallenhoeven kemudian ditindak lanjuti Snouck Hourgronje.Adapun perbedaannya  adalah,  jika  dalam  konsep  hukum  adat  Van  Vallenhoeven  tidak menerjemahkan pemisahan adat dari praktek agama.Snouck Hourgronje membuat demarkasi tegas antara praktek adat dan praktek agama, hukum agama baru bisa di-receptie  hukum  adat,  apabila  hukum  agama  tidak  bertentangan  dengan  adat masyarakat[53]. Sedangkan  bentuk  ketiga  adalah,  pembatasan  kompetensi  absolut  peradilan agama.jika pada masa VOC hukum agama diakui dan difasilitasi pelaksanaanya, baik peraturan  pidana  maupun  peraturan  perdata[54]. pada    masa  pemerintahan  Holland Goubernemet    kompetensi  absolut  praktek  peradilan  pribumi  dikurangi. Reduksi pertama adalah kompetensi peradilan agama terbatas dalam hukum perdata agama.

Setelah  itu,  hukum  perdata  keagamaan  dikurangi  menjadi  terbatas  pada  masalah perkawinan.Pada  puncaknya  kompetensi  perkawinan  dipersempit  menjadi kompetensi perkawinan an sich tanpa kompetensi harta kekayaan dan pewarisan[55].

B.   Relasi Sosio-Politik Bagi Implantasi Hukum Hukum Pidana Islam Indonesia

Apakah ilmu hukum mempunyai relasi dengan politik? pertanyaan praktis ini    tidaklah  mudah  dijawab  dengan  penjelasan  singkat.Sebab,  para  ahli  hukum percaya  antara  hukum  dan  politik  terdapat  perbedaan  karakter  yang  sangat dalam.Pertanyaan  di  atas    akan  semakin  sulit  dijawab  jika  diteruskan  dalam Apakah makna dan bagaimana relasi politik dengan penemuan hukum?

Perbincangan  distingsi  hukum  dari  sosio-politik  merupakan  materi  laten yang  terdapat  dalam  perdebatan  metode  penemuan  hukum. Sebagian  kalangan berpendapat,  untuk  selanjutnya  dikenal  dengan  mazhab  positifisme,  the development  of  law  formated  for  the  sake  of  the  law  only.Kalangan  ini  menolak keras  campur  tangan  politik  dalam  hukum,  hukum  demi  hukum,  ilmu  hukum  berbentuk value-free science sedangkan ilmu politik apalagi jika dikaitkan dengan ilmu  sosial  berbentuk  value-loaded  science.Dalam  pandangan  kelompok  ini prosedur  penemuan,  pembentukan,  dan  pelaksanaan  hukum  berjalan  dalam bingkai  aparat  hukum  an  sich,  hukum  hanya  dapat  ditemukan  melalui  keputusan hakim saja.Adapun proses pembentukan hukum dibatasi pada produk  legitimator yang disahkan undang-undang[56]. law is a command of the law giver[57].

Konsep  hukum  di  atas  sudah  tentu  memiliki  kontradiksi  dengan  mazhab lain,  untuk  selanjutnya  dikenal  dengan  mazhab  sosiologis[58]. Dalam  pandangan mazhab ini the contruction of law constructed and formated for the sake of social interest.Hukum  harus  melayani  masyarakat.Oleh  sebab  itu,  hakim  tidak  dapat memutuskan  hukum    secara  memuaskan  hanya  dengan  menggunakan  perangkat konstruksi  logika  hukum  semata.Pembentukan  UU  menghendaki  perlindungan atas kepentingan.maka primat dari logika dihentikan primat dari penyelidikan dan penilaian atas kehidupan  “ lebensforcungs und lebenswertung “[59] .

Dalam perkembangan selanjutnya, mazhab legisme ternyata lebih dominan dalam  penemuan  hukum  Indonesia.Hal  ini  dapat  kita  ketahui  dari  intensitas perundangan  yang  dilahirkan  otoritas  politik  lebih  banyak  dibandingkan  dengan usulan undang-undang yang diusulkan oleh masyarakat.Sebagai konsekwensi dari  realitas  ini,  cita  hukum  yang  terdapat  dalam  masyarakat  sangat  sulit terpenuhi.Masyarakat  diposisikan  sebagai  objek  Hukum,  bukan  subjek  yang memiliki kepentingan atas hukum.
Kajian  sistem  hukum  negara,  seringkali  dibelah  dalam  dua  kanal pemikiran.pada  kanal  pertama  dikenal  dengan,  anglo-Saxon,  yaitu  sistem  hukum negara  yang  mengedapkan  living  law  masyarakat.Sedangkan  wilayah  kedua, europe-continental  lebih  mengedepankan sistem  written  constitution  dan bersifat flexible sesuai dengan limitatiasi legitimator di Parlemen[60]. Dalam rites dÄ› passage hukum Islam,[61] termasuk  di dalamnya pemikiran implantasi  hukum  pidana  Islam  Indonesia,  nampak  jelas  legalisasi  hukum  Islam dimungkinkan  terjadi  bila  negara  dengan  "  berat  hati  menerima"  konsep implantasi  hukum  Islam.Format  sosio-politik  hukum  Indonesia  dengan menggunakan  pisau  analisa  historitas  dan  normatifitas  di  Indonesia,  sangat tergantung  bagaimana  support  politik  memaksa  penguasa  melegalkan  hukum tertentu.

Deskripsi  hukum  Islam  Indonesia  dari  perspekstif  historis  menunjukkan adanya  fluktuasi  dan  dinamika  hukum  Islam  yang  signifikan.Fluktuasi  ini  dapat kita  buktikan  dengan  melihat  pola  praktek  hukum  Islam  yang  dilakukan masyarakat.Pola  penyebaran  agama  Islam  di  Indonesia  yang  menganut  pola akulturasi  dan  asimilasi,  menyebabkan  peran  norma  hukum  awal  sangat berpengaruh  bagi  perkembangan  hukum  Islam  di  Indonesia,  ketika  kekuasaan politik  kuat  hukum  Islam  dapat  berjalan  sebagaimana  "mestinya". Sebaliknya, ketika  hukum  Islam  tidak  memiliki  posisi  politik  yang  kuat,  pelaksanaan  hukum Islam berjalan sesuai dengan "selera" pemeluknya.

Sedikit mengulang dengan apa yang telah disampaikan oleh M.B Hooker, praktek  hukum  yang  terdapat  dalam  tata  sosial  masyarakat  Indonesia  bukanlah tunggal.Sedangkan  akar  perbedaan  penerapan  hukum  dipengaruhi  oleh  bentuk akomodasi  norma  hukum  awal  sebelum  kedatangan  Islam  dan  posisi  nilai  tawar politik yang dimiliki hukum Islam[62].
Adapun tiga bentuk praktek hukum Islam di Nusantara  sebagaimana  yang  terdapat  dalam  penjelasan  berikut.Pertama,  pola Islam  law  as  expression  of  public  law.Praktek  ini  terdapat  di  kerajaan-kerajaan Islam  yang  terdapat  di  perairan  Malaka,  hukum  Islam  dipraktekkan  sebagai ekspresi  sosial  masyarakat[63].

Hukum  Islam  mampu  dipraktekkan  masyarakat dengan kekuatan politik penguasa. Kedua, Pola  Islam  law  as  of  phillosophy  of  law  and  Life.Praktek  ini terdapat  di  kepulauan  Sumatra  bagian  Barat  terutama  di  Minangkabau,  hukum Islam dipraktekkan sebatas term filosofis semata.Normatifitas Hukum Islam tidak mampu  mengekspresikan  diri  dalam  tatanan  sosial  secara  utuh,  kurangnya dukungan  kuasa  politik  dan  kuatnya  pengaruh  kuasa  adat  menyebabkan  hukum Islam  dipraktekkan  apabila  tidak  bertentangan  dengan  realitas  sosial.Sedangkan praktek  jenis  ketiga  adalah  praktek  Islam  law  as  parallel  System.Praktek  hukum Islam  sebagaimana  bentuk  aslinya  ini  nampak  pada  upaya-upaya  pengumpulan hukum  Islam  dalam  satu  buku  yang  dapat  dijadikan  pedoman  kerajaan. Misalnya pembuatan pepakem di Cirebon dan kitab surya alam di Palembang[64].

Pola di atas bertahan hingga datangnya  imperealis Eropa ke Indonesia. Bagaimana dengan peluang Implantasi hukum Pidana Islam, Dalam ranah penelitian hukum, implantasi hukum Islam dalam tata hukum nasional adalah hal baru.Oleh  sebab  itu,  memahami  dan  memahamkan  istilah  Implantasi  Hukum Pidana  Islam  bukanlah  hal  mudah.Istilah  Implantasi  hukum  tidak  kita  temukan dalam  buku  hukum  Islam  manapun,  baik  pada  masa  klasik,  ketika  hukum  Islam terintegrasi  dalam  fiqh,  maupun  kontemporer,  ketika  pemikiran  hukum  Islam mengalami  gejolak  dekonstruksi  struktur  juridis  yang  luar  biasa.Bagi  sebagian kalangan  menganggap  istilah  implantasi  adalah  absurd,  abstrak  dan  terlalu dipaksakan,  sebagian  yang  lain  malah beranggapan, term implantasi tidak sesuai dengan mainstream pemikiran hukum Islam yang lebih konseptual dan praktis.

Istilah Implantasi hukum pidana Islam adalah hasil adaptasi dari dua kata utama yaitu kata implantasi dan hukum pidana Islam.Istilah ini sengaja digunakan untuk  mendekonstruksi  pemikiran  praktek  hukum  Islam  di  Indonesia  yang cenderung  bersifat  statis-pragmatis. Dalam  tataran  simantik,  istilah  Implantasi lebih  dikenal  pada  kajian  kedokteran,  yaitu  kegiatan  mencangkokkan  organ tertentu  pada  organ  tubuh  yang  sudah  rusak  dan  atau  tidak  layak  pakai  dengan organ  yang  berasal  dari  organ  tubuh  lain  yang  masih  berguna[65].

Ketika  istilah implantasi dilekatkan pada hukum Islam berarti merujuk pada suatu proses untuk mencangkokkan  hukum  Islam,  sebagai  bagian  dari  sumber  hukum,  dalam  tata hukum positif. Term  Implantasi  sudah  tentu  berlawanan  arus  dengan  istilah  umum  yang menggambarkan  proses  "menjadikan  hukum  Islam  sebagai  (bagian)  hukum Negara". Istilah  Implantasi  sengaja  digunakan  untuk  memfalsifikasi  logika pemikiran  kajian  hukum  Islam  yang  cenderung,  selain  bersifat  statis-pragmatis, dan  mengambil  bentuk  logika  historio-ferivikatif.Muhammad  Abdun  Nasir, memberikan  penjelasan  yang  tegas  tentang  technical  term  kajian  praktek  hukum Islam  di  Indonesia[66].
Menurut  Nasir,  Istilah  baku  yang  dikenal  dalam  tradisi pemikiran  hukum  Islam  modern  adalah  transformasi  hukum  Islam, pelembagaan hukum  Islam,  kodifikasi  atau  kompilasi  hukum  Islam,  Islamization  of Muhammadan Law, taqnin, maupun juga doktrin “siyasah”. Kerangka  pemikiran  transformasi  hukum  Islam  dalam  tata  hukum  positif untuk  pertama  kali  dilontarkan  oleh  Abdul  Ghani  Abdullah  dalam  bukunya “Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia”.Menurutnya, kegiatan  transformasi  hukum  Islam  dalam  tata  hukum  posistif  tidak  dapat dilepaskan dari geneologi eksistensi peradilan agama yang ada.Peradilan agama di Indonesia  telah  hadir  dan  telah  tertata  baik  sebelum  tata  hukum  Belanda ada[67].

Oleh  sebab  itu,  hukum  Islam  bukanlah  illegal  boarder  dalam  tata  hukum posistif,  melekatkan  hukum  Islam  dalam  tata  hukum  positif  berarti mentransformasikan existensi hukum Islam pada kedudukan awalnya[68]. Ide dasar melekatkan    transformasi  hukum  Islam  dengan  sejarah  peradilan  agama,  sudah tentu menunjukkan kejanggalan dan keterbatasan yang perlu dikaji ulang.Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama, sebagi titik pijak pembahasan Abdullah,  bukanlah  transformasi  exsistensi  peradilan  agama,  undang-undang tersebut hanya mengatur hukum formal yang berlaku dalam peradilan agama dan tidak  memiliki  kaitan  langsung  dengan  pemikiran  hukum  Islam  pada  umumnya, ketentuan  tersebut  lebih  bermuatan  teknis  beracara  dibandingkan  materi  hukum Islam pada umumnya.

Berbeda  dengan  pemikiran  transformasi  hukum  Islam,  Nasir  menyebutkan term  lain  yaitu  gagasan  Bustanul  Arifin  tentang  ide  “Pelembagaan  hukum Islam”.Bustanul  menggunakan  Istilah  ini  guna  mengomentari  niat  Pemerintah dalam  usaha  untuk  mengkompilasikan  hukum  Islam  lewat  proyek  pembangunan hukum  Islam  melalui  yurisprudensi,  yang  kemudian  dikenal  dengan  proyek Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI).Proyek  kompilasi  hukum  Islam  dilakukan pemerintah  guna  pembinaan  kekuasaan  kehakiman  dan  penyempumaan  hukum materiil  yang  berlaku  pada  peradilan  agama.Proyek  KHI  dilatarbelakangi  oleh keinginan  pemerintah  melakukan  standarisasi  hukum  materiil  peradilan  agama dalam satu buku rujukan standar yang dipakai oleh para hakim[69].
Dilihat  dari  teori  hukum  positif,  proyek  Kompilasi  Hukum  Islam  merupakan upaya  hukum  pemerintah  guna  mengakomodasi  eksistensi  normatifitas  hukum Islam  yang  dipraktekkan  masyarakat.Normatifitas  materi  hukum  Islam,  secara tidak  langsung,  dalam  prespektif  Bustanul,  dilembagakan  dan  bersinergi  dengan normatifitas hukum materiil positif[70].

Tidak  berbeda  dengan  pemikiran  Abdullah,  tussen-norma  fallacies  yang terdapat  dalam  Ide  pelembagaan  hukum  Islam  menimbulkan  problematika tersendiri,  yaitu  praktek  pelembagaan  norma  hukum  yang  dijalankan masyarakat. Dalam  prespektif  sosiologi  hukum,  keyakinan  hukum  masyarakat  terhadap  Hukum  Islam  telah  terlembagakan  dalam  hukum  materiil  peradilan agama  jauh  sebelum  proyek  kompilasi  hukum  Islam  dilaksanakan?  Bahkan, existensi  hukum  Islam  di  Indonesia  telah  ada  jauh  sebelum  adanya  tata  hukum positif. Proses  pelembagaan  hukum  Islam  yang  terdapat  dalam  KHI,  tidak  hanya menggunakan  tata  perundangan  yang  kuat  dengan  menggunakan  Instruksi presiden dengan konsekwensi sebagai norma anjuran materiil bukan norma formal materiil,  melainkan  juga  menegaskan  legalitas  pemerintah  untuk  menentukan, mengarahkan  dan  membentuk  hukum  agama  tertentu  sesuai  dengan  selera pemerintah.

Dalam  dunia  pendidikan  misalnya,  pengesahan  Undang-Undang  pendidikan nasional  yang  baru  bukan  mengarahkan  masyarakat  dalam  satu  tujuan pendidikan. Justru  sebaliknya,  pasca  pengesahan  undang-undang  sisdiknas  malah berimbas  pada  konflik  intemal  masyarakat  Indonesia. Kalangan  Muslim beranggapan, UU Sisdiknas sudah sesuai dengan hak asasi murid dalam menerima pelajaran. Sebab, menjalankan dan memperoleh ajaran agama merupakan hak asasi setiap  orang. Sebaliknya,  dalam  pandangan  kalangan  Katolik,  pengesahan Sisdiknas  melegitimasi  masuknya  idiologi,  ajaran,  dan  guru  Islam  ke sekolah.

Padahal, dengan konteks HAM yang sama, pemaksaan pandangan agama yang  dimiliki  kalangan  tertentu  bertentangan  dengan  hak  asasi  manusia.Fungsi utama  hukum  dalam  masyarakat  adalah  mengatur  kehidupan  bermasyarakat  dan memaksa  anggota  masyarakat  untuk  mengikutinya[71].

Kegagalan  hukum  dalam mengatur dan memaksakan masyarakat dalam satu tatanan, sudah tentu berimbas dalam kegagalan lebih luas[72]. Selain  dua  term  di  atas,  istilah  lain  yang  dikenal  adalah  kodifikasi  atau kompilasi hukum Islam.kodifikasi ini merupakan adaptasi dari Istilah codification (pengkodean/pembagian),  yang  berarti  pembagian  hukum  Islam  yang  tersebar dalam beragam kitab fikih dalam satu bab tertentu.Istilah ini digunakan oleh Abu Bakar bin Hasyim dalam menyikapi penyusunan syari’ah Islam menjadi undang-undang  di  Singapura[73].

Sikap  senada  juga  disampaikan  oleh  S.Ali  Raza  Naqvi ketika  menggambarkan  problem  hukum  Islam  di  Pakistan.Menurut  Naqvi, mengutip pendapat Nasir, hukum adalah refleksi dari suatu masyarakat yang tidak saja  mencerminkan  standar  moral  dan  spiritual  masa  lalu,  tapi  juga  manifestasi pandangan  umum  saat  sekarang  terhadap  kehidupan  dalam  pola  yang  luas. Oleh sebab  itu,  hukum  harus  responsif  terhadap  perkembangan  yang  terjadi  di masyarakat[74].

Beragam techinical term yang telah disampaikan oleh Abdun Nasir sudah tentu memancing pertanyaan apakah makna integral implantasi hukum Pidana dan bagaimana    posisi  implantasi  dalam  arus  kajian  hukum  pidana  Islam.Implantasi hukum  pidana  Islam  dalam  kajian  ini  diartikan  sebagai  penarikan  norma-norma hukum pidana Islam dalam tata hukum Positif.Hukum pidana Islam, walau tidak menutup  kemungkinan  melihat  peta  politik  yang  berkembang,  sangat  mustahil dapat  dijadikan  sebagai  bentuk  unifikasi  hukum  pidana  Nasional. Beragam normatifitas hukum yang terdapat dalam hukum pidana Islam, cenderung bersifat kontradiktif  jika  dibandingkan  dengan  norma  hukum  positif.Oleh  sebab  itu, normatifitas  hukum  pidana  Islam  baru  dapat  dilakukan  apabila  ada  dekonstruksi epistimologis.

C.   Problematika Filosofis Hukum Pidana Islam di Indonesia
  Hingga saat ini, kegiatan memahami dan mendiskripsikan praktek hukum pidana  Islam  di  Indonesia  merupakan  kegiatan  yang  melelahkan  dan menjemukan.Bahkan  dalam  banyak  segi  sampai  taraf  menjengkelkan!. Kegiatan yang  melelahkan,  meminjam  istilah  Foucault[75] kajian  sejarah,  dalam  hal  ini dilekatkan  dengan    praktek  hukum  pidana  Islam  di  Indonesia,  selalu  dihadapkan pada beragamnya data yang bersifat intersubjektif, sehingga masing-masing pihak harus  mampu  menilai  beragam  peristiwa  berdasarkan  kapasitas  keilmuan  dan kepentingan yang dimiliki.

Sebagai akibat yang ditimbulkan, terkadang seseorang dihadapkan pada suatu situasi yang sangat menjemukan.Problem ini merupakan problem tambahan pasca problem  melelahkan,  beragam  data  yang  diperoleh  seorang  peneliti  tidak  selalu menggiring  peneliti  pada  asumsi  tunggal,  bahkan  data  sejarah  terkadang  saling menyudutkan  antara  yang  satu  dengan  yang  lain[76].

Secara  tegas  Azyumardi mengatakan : “ Memang, untuk menstudi Islam pada periode ini diperlukan “ ketabahan extra  “  pertama,  orang  perlu  menghabiskan  banyak  waktu  untuk menguasai  ilmu-ilmu  lain,  semacam  bahasa  Belanda.Kedua.Ia  harus  siap “bertungkus  lumus“  mengumpulkan  bahan-bahan  atau  arsip  yang terpencar  dimana-mana.Ketiga,  ia  harus  siap  untuk  menambah  tebal kacamatanya karena matanya “ rusak “ membaca arsip dan naskah tulisan tangan  yang  tidak  mudah  dibaca  dan  dipahami.Keempat,  ia  tak  kurang pentingnya ia harus bisa “ berada “ dengan apa yang pernah ditulis orang lain khususnya sarjana asing.Jika berharap studinya punya arti penting.“[77]
Pembahasan  peluang  implantasi  hukum  pidana  Islam  dalam  tata  hukum positif  merupakan  contoh konkrit dari problem utama di atas, sebagian kalangan beranggapan  mengkaji  upaya  penerapan  hukum  pidana  Islam  di  Indonesia, merupakan  suatu  penelitian  yang  susah-susah  gampang.Sebagain  kalangan  yang  lain  malah  beranggapan  penelitian    upaya  penerapan  hukum  pidana  Islam  di Indonesia merupakan penelitian serius yang menemui banyak kendala.

Penelitian  upaya  penerapan  hukum  pidana  Islam  di  Indonesia  relatif sederhana,  hanya  bergantung  keinginan  politik  pemerintah.Beragam  ceramah ilmiah dan statemen ahli hukum, baik hukum Islam maupun positif, menganggap peran  politik  pemerintah  mutlak  diperlukan.Apabila  pemerintah  setuju  dan menyatakan  hukum  Islam  berlaku,  secara  otomatis  hukum  Islam,  termasuk  di dalamnya  hukum  pidana  Islam,    akan  berlaku  dan  boleh  dikatakan  selesailah persoalan. Beragam  kendala  yang  akan  ditemukan  dalam  praktek  awal  hukum Islam  adalah  hal  wajar  dan  kendala  sederhana  yang  dapat  diselesaikan  secara bertahap sambil berjalan.

Kelompok  adaptif  beranggapan[78], beragam  aturan  yang  terdapat  dalam narasi fiqh telah cukup memadai bahkan lebih dari cukup sebagai pegangan awal praktek hukum Islam.Para pihak yang beracara, baik hakim, tersangka, pembela, dan  masyarakat  yang  membutuhkan  dapat  mengakses  secara  langsung  dalam narasi fiqh.Apabila diperlukan, pengalaman kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah bukti nyata praktek hukum Islam di bidang keperdataan.

Berbeda  dengan  kelompok  yang  memahami  upaya  penerapan  hukum pidana  Islam  di  Indonesia  adalah  problem  yang  mudah,  kelompok  lain  justru berpendapat sebaliknya.Tindakan  politik yang ditempuh pemerintah dalam upaya penerapan  hukum  pidana  Islam  di  Indonesia,  merupakan  tindakan  a  historis,  a populis dan tidak menyentuh problem dasar praktek hukum Islam.Sejarah praktek hukum  Islam    di  Indonesia,  walaupun  sangat  tergantung  dengan  pasang  surut kekuatan  politik  tertentu,  menunjukkan  dinamika  kemandirian  praktek  hukum dibandingkan  dengan  dinamika  politisasi  hukum.ketika  Belanda  berkuasa,

kekuatan  politik  mampu  mereduksi  praktek  hukum  Islam  akan  tetapi  hokum Belanda  yang  memperoleh  support  politik  tidak  mampu  mengakar  dalam masyarakat.Praktek hukum pidana Islam bukan termasuk problem politik an sich, melainkan  juga  terkait  erat  dengan  bergam  problem  yang  lain  terutama  problem akademis  mengenai  probloem  ontologis  struktur  juridis  hukum  pidana  Islam, selain problem akademis, problem teoritis hukum Islam juga menghadapi kendala yang  sangat  serius,  yaitu  ketertundukan  teks  agama  terhadap  normatifitas bentukan  penguasa  tidak  dikenal  dalam  hukum  Islam.Hukum  Islam  hanya mengenal  kuasa  Allah  sebagai  legitimator  dan  legislator  hukum,  sedangkan  tata hukum positif malah memberikan kuasa hukum kepada negara.

Memahami  terma  ontologis  yang  melekat  pada  implantasi  hukum  pidana Islam, bukanlah hal yang mudah.Sebagian jurist muslim yang alergi dengan mitos filsafat,  menolak  dengan  tegas  penarikan  problem  hukum  pidana  Islam  yang bersifat  praktis  ke  dalam  dunia  filsafat  yang  bersifat  imajinatif.Dalam  prespektif filsafat,  termasuk  di  dalamnya  filsafat  hukum,  memahami  term  ontologis  dapat dengan mudah dilakukan dengan memisahkan dua kata yang ada, yaitu ontos dan logos.Simanticaly,  ontos    bermakna  “  ada/sesuatu  yang  ada  “. Adapun pragmaticaly, ontos bermakna sesuatu yang selalu “ ada “ dan tetap “ ada “. Objek telaah ontologi adalah yang ada, sesuatu yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.Sesuatu  yang  universal  dan  selalu  “  ada  “.  Studi  tentang  yang  “  ada  “, pada  tataran  studi  filsafat  pada  umumnya  dilakukan  oleh  filsafat methapisika.Istilah ontologi sendiri banyak digunakan ketika kita membahas “ ada “ dalam konteks filsafat ilmu[79].

Objek kajian yang dimiliki ontologi biasa disebut dengan objek formal, yaitu objek  yang  mengkaji  hakikat  seluruh  relitas  dan  objek.dalam  tataran  praktis, ontologi  selalu  mengkaji  3  permasalahan  fundamental  yang  dikenal  dengan apakah  hakikat  yang  “  ada  “,  apakah  yang  “  ada  “  itu  sesuatu  yang  tetap,  abadi, atau  terus  menerus  berubah,  dan  apakah  yang  “  ada  “  itu  sesuatu  yang  abstrak-universal atau konkret individual[80].

Dalam  tradisi  sains  barat,  aspek  ontologis,  menyangkut  teori  tentang  ada (being) sebagai objek sains.Dalam sains barat modern yang “ ada “ dibatasi pada objek empiris.Dalam ontologis, diupayakan penjelasan mengenai sifat-sifat objek, serta  hubungan  dengan  subjek  (  preceiver  atau  knower ).benar-benar  adakah  apa yang  disebut  sebagai  realitas  objektif  (  objektivity  reaslity  )  yang  terpisah  dari subjeknya  ?  ataukah  objek  itu  sekedar  bentukan-tak-konkret  presepsi  subjek  ? ataukah  pengetahuan  merupakan  hasil  persentuhan  objek  (  real  )  dan  intrepretasi subjek, dengan demikian, tak sepenuhnya terpisah ?[81]
Sebagai  salah  satu  cabang  filsafat,  ontologi  termasuk  cabang  tertua  yang relevan dengan filsafat Ilmu.Aspek ontologi menjadi cabang tertua karena tradisi inilah  yang  mewariskan  berbagai  permasalahan  filsafat  selanjutnya.dalam  tradisi ontologi, kebenaran sesuatu yang “ ada “ dibedakan dalam  empat faham, yaitu :
1.    faham monisme : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu hanya satu.aliran ini dibedakan  dalam  dua  aliran  besar,  yaitu  spiritisme  (  serba  Rohani  )  dan matrealisme ( serba materi ).
2.    Faham  dualisme  :  kebenaran  sesuatu  yang  “  ada  “  itu  mustahil  tanpa dibarengi  spirit  dan  materi  sekaligus.Oleh  sebab  itu,  mazhab  ini berpendapat kebenaran merupakan elaborasi aspek spirit dan materi.
3.    Faham Pluralisme : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu tidak dibatasi pada aspek spirit dan materi semata, tetapi merupakan sesuatu yang plural.
4.    Faham Agnotisime : kebenaran sesuatu yang “ ada “ itu bersifat komplek sehingga berupa sesuatu yang tidak diketahui.[82]

Kerangka  ontologis  dunia  filsafat  ilmu  menarik  untuk  digunakan  memahami ide implantasi hukum Islam Indonesia.Permasalahan fenomena pemihakan hukum agama  tertentu  yang  melanda  Indonesia  sudah  tentu  amat  menarik  jika  ditinjau dengan  falsifikasi  ontologis.Sebab,  selama  ini  doktrin  hukum  yang  diusung kalangan  Islam  literal,  kalangan  yang  menganggap  political  support  harus  lebih dulu  diselesaikan  dibandingkan  dengan  dukungan  struktrur  juridis,    dilekatkan dengan berbagai perangkat meta hukum positif.
Kebutuhan  masyarakat  terhadap  tegaknya  hukum  bukanlah  problem  serius yang  perlu  diperhatikan  kalangan  literal,  kebutuhan  tegaknya  hukum  adalah kebutuhan  dasar  yang  dianggap  mampu  membawa  tegaknya  hukum  di masyarakat.oleh  sebab  itu,  pada  umumnya,  kalangan  literal  menggunakan pendekatan  klam  normatif  legalistik    yang  terdapat  dalam  syara'  dibandingkan dengan  memperhatikan  kebutuhan  masyarakat  atas  tegaknya  hukum. Menurut Appledorn,  tegaknya  hukum  ditengah  masyarakat  baru  dapat  diterima  apabila berasal  dari  normatifitas  sosial  yangt  sedang  berkembang,    dengan  tegas  ia menyatakan  Recht  is  over  de  gehel  wereld,  overal  waal  een  samenliving  van mensen is.[83]

Dengan bahasa yang lebih sederhana, Cicero menyatakan pentingnya hukum bagi masyarakat dengan ungkapan ubi Ius, ubi Societas.[84] Dalam  kajian  hukum  Islam,  aspek  ontologis  biasanya  disandarkan  pada sumber  hukum  yang  bersifat  abadi,  kekal,  tidak  berubah,  dan  berlaku universal.Secara keseluruhan, juris muslim sepakat sumber hukum yang memiliki karakter  berlaku  universal  dan  bersifat  abadi  hanya  terdapat  dalam  al-Qur’an[85] dan  al-Hadits[86].

Sedangkan  jika  aspek  ontologi  dilekatkan  pada  filsafat  hukum, bagaimanapun  bentuk  terminologi  yang  ditawarkan,  bermakna  perangkat  yang berisi perintah dan larangan guna mengatur ketertiban dimasyarakat. Penarikan  garis  ontologis  hukum  Islam  (baca  ;  hukum  pidana  Islam)  sudah tentu memiliki berbagai implikasi yang tidak mudah dijelaskan.Implikasi pertama adalah formalisme hukum dan implikasi kedua adalah substansi hukum.dalam hal implikasi  pertama,  kalangan  Islam  literal  seringkali  mempergunakan  propaganda standar truth claim idiology yang terdapat dalam al-Qur’an[87], yaitu :

1.    Barang  siapa  yang  tidak  mengikuti  hukum  Allah  Maka  ia  termasuk golongan  orang  yang  kafir…..Barang  siapa  yang  tidak  mengikuti  hukum Allah Maka ia termasuk golongan orang yang zalim…..Barang siapa yang tidak  mengikuti  hukum  Allah  Maka  ia  termasuk  golongan  orang  yang fasik[88].
2.    Apakah  engkau  mempercayai  sebagian  Isi  al-Qur’an  dan  mengingkari sisanya.apabila engkau berlaku demikian niscaya engkau akan mengalami kesempitan hidup dan siksaan di akhirat[89].
Problem truth claim tersebut, sebagaimana problem besar ilmu hukum kaukus Abrahamics,  adalah  munculnya  anggapan  sempit  dikalangan  pemeluk  agama untuk  menentukan  ketentuan  hukum  sebagaimana  yang  tercantum  pada  kitab suci. Dalam  tradisi  masyarakat  homogen  sudah  tentu  hal  ini  tidak  akan menimbulkan masalah serius, akan tetapi apabila design social tersebut dilekatkan pada setting social heterogen banyak kendala yang harus disikapi secara bijak dan arif. Konstruksi  sosial  masyarakat  heterogen  tidak  memungkinkan  normatifitas tunggal ontologi, konstruksi masyarakat heterogen dibangun atas normatifitas ide masyarakat.

Problematika truth claim forma ontologi hukum Islam literal sebenarnya dapat diakomodasi  dengan  memahami  grand  social  ontology  hukum  Islam.Pertama, dengan meminjam istilah Koentowibisono, perjumpaan Muhammad SAW.dengan kultur hukum Quraysh pada awal masa kenabian dan pembentukan karakter sosial masyarakat  Madinah.Nabi  Muhammad  SAW.pada  awal  periode  kenabiannya membentuk  karakter  ontologi  hukum  yang  menarik  untuk  disimak. Ketertarikan ini  dibangun  atas  aspek  ontologi  sosial  Muhammad  SAW.yang  beranggapan, betapapun beratnya problem sosial yang dihadapi, penyelamatan konstruksi sosial harus  diupayakan.Penyelamatan  ini  tidak  dibangun  dengan  truth  claim sebagaimana  pandangan  Islam  literal.Penyelamatan  konstruksi  sosial  diupayakan dengan  perangkat  sosial  yang  dikenal  masyarakat,  bukan  perangkat  asing  yang tidak  dikenal  sebelumnya.Walaupun,  truth  claim  idiology  ala  madinah  tersebut telah turun.

Bentuk  ontologi  kedua  adalah  ontologi  Madinah.Konstruksi  ontologi hukum  Madinah    dibangun  atas  perjanjian  damai  antara  masyarakat  muslim, Nasrani,  dan  Yahudi  Madinah.Pemunculan  ontologi  Madinah  tidak  dapat dilepaskan  dengan      kegagalan  proses  ontologi  Makkah,  oleh  sebab  itu,  sesuatu yang  “  ada  “  harus  diwujudkan,  dan  harus  tetap  “  ada  “  walaupun  ia  telah tiada.Dalam  pandangan  ontologi  Madinah,  kebutuhan  sosial  yang  mendesak  dan harus  dipenuhi  adalah  ketertiban  dan  keteraturannya.Oleh  sebab  itu,  seluruh komponen  masyarakat  harus  meninggalkan  insider  interst  guna  terbentuknya comunal  interest.Nabi  Muhammad  SAW.,  walaupun  telah  menerima  beragam ketentuan  hukum  dari  Allah  Swt.,  dengan  senang  hati  melaksanakan  keputusan Madinah  ,  ia  memberikan  hak  yang  sama  terhadap  komunitas  Madinah, biarlah agama  yahudi  tunduk  terhadap  ketentuan  hukum  Yahudi,  Kaum  Nasrani menjalankan ketentuan hukum Nasrani, dan Ummat Islam serta nabi sendiri tetap menjalankan  kewajiban  hukum  Islam  tanpa  memaksakan  konsep  hukum  Islam terhadap kaum yahudi dan Nasrani di Indonesia.

Selain  problem  politis,  proses  krusial  dalam  implantasi  hukum  Islam adalah resturukturisasi struktur juridis hukum pidana Islam.Hukum pidana Islam, belum  terbakukan  dalam  sebuah  kajian  hukum  yang  layak.Kajian  hukum  pidana Islam  seringkali  meninggalkan  beberapa  pertanyaan  yang  menggelikan, pertanyaan  sederhana  yang  mempersoalkan  kerangka  ontologi  hukum  Islam menyisakan beberapa problem serius.Apakah hukum pidana Islam, merujuk pada kajian standar yang dikenal dalam wilayah Fiqh, sudah tentu bukanlah sikap arif yang  perlu  dicoba.Beragam  kajian  hukum  pidana  Islam  dalam  ilmu  figh,  justru memberikan  ruang  yang  cukup  mengundang  kontroversi.sebaliknya,  struktur juridis hukum pidana positif menuntut adanya unifikasi.

Selain problem struktur juridis, implantasi hukum pidana Islam dalam tata hukum  positif  juga  menyisakan  problem  struktur  idiologis.Hukum  pidana  Islam,  ketika harus masuk dalam sistem hukum positif, harus membuang doktrin Allah is the  real  law  giver  ?  hukum  positif  hanya  mengenal  mekanisme  perundangan negara,  hukum  Islam  justru  memaksa  negara,  termasuk  masyarakat  muslim, menerima hukum sesuai dengan kehendak-Nya.

Diskripsi  problem  ontologis  di  atas,  sudah  tentu  mempertegas  problem  dasar implantasi  hukum  pidana  Islam  bukanlah  sekedar  kemauan  politik,  tetapi berkaitan  erat  dengan  problem  yang  lain,  mulai  dari  yang  bersifat  akademis, teoritis,  politis,  sampai  kepada  yang  bersifat  praktis  yaitu  mengenai  berjalannya struktur  formil  di  pengadilan  dan  juga  mengenai  hukum  yang  akan  dijalankan harus mengakomodasi nilai-nilai HAM. Selain  problem  ontologis,  hukum  pidana  Islam  juga  mengalami  problem epistimologis  yang    serius.Hukum  pidana  Islam,  walaupun  tidak  ternyatakan dengan  tegas  dalam  rumusan  tertentu,  sudah  baku  dan  nyarius  tidak  beranjak menyesuaikan  perkembangan  zaman.Perkembangan  hukum  pidana  Islam, walaupun  tidak  secara  keseluruhan  dilakukan  kalangan  juris  muslim,  cenderung kehilangan  semangat  mempertanyakan  kembali  "kebenaran-kebenaran  tentatif" hukum pidana Islam.

Beragam  kajian  yang  berkembang  justru  membuktikan,  hukum  pidana  Islam hidup  dalam  dunia  imajinatif  dan  konservatif.Term  imajinatif,  merujuk  pada hilangnya  semangat  mengkonseptualisasikan  normatifitas  hukum  pidana  Islam dengan  realitas  sosial.Term  konservatif  problem  epistimologis  hukum  pidana Islam,  merujuk  pada  kajian  yang  berkembang  merupakan  repetisi  dan rekonservasi kajian hukum sebelumnya.Selain konsep hukuman yang ditawarkan Sahrur,  konstruksi  dasar  hukuman  dalam  hukum  pidana  Islam  tidak berubah.Kapan  dan  bagaimana  pilihan  hukuman  alternatif  dilakukan  tidak tersentuh sama sekali (baca :tidak pernah dikaji ulang).
Dalam  sejarah  epistimologi,  mempertanyakan  kembali  pengetahuan  yang dianggap mapan atau benar dalam masyarakat disandarkan atas pertanyaan Thales seorang  arsitek  dari  Milethus  yang  amat  mendasar  dan  jarang  dipertanyakan orang[90]. Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini ?[91] Epistimologi,  atau  biasa  disebut  dengan  filsafat  ilmu  pengetahuan membicarakan  sumber,  sarana,  dan  tata  cara  menggunakan  sarana tersebut  untuk memperoleh  pengetahuan[92].

Runes  dalam  kamusnya  menjelaskan  bahwa epistimology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, method,  and  validity  of  knowledge.Itulah  sebabnya  epistimologi  dikenal  dengan Istilah  filsafat  pengetahuan  karena  ia  membicarakan  pengetahuan.Istilah Epistimologi, mengutip pendapat Runes,  digunakan pertama kali oleh J.F.Ferierr pada tahun 1854.[93]
Pengetahuan  dalam  pandangan  epistimologi  ada  tiga  macam  yaitu pengetahuan  sains,  pengetahuan  filsafat,  dan  pengetahuan  mistik.Begitu  juga dengan bagaimana cara memperolehnya,  pengetahuan diperoleh manusia melalui berbagai macam cara.Misalnya, epistimology empirisme tradisional Inggris, yang bersandar  pada  observasi,  klasifikasi,  formulasi,  dan  ferifikasi,  berbeda  dengan epitimology  pragmatis  Amerika  menurut  Bahm,  setidaknya  ada  lima  langkah krusial yang harus ditempuh guna memperoleh pengetahuan, yaitu awarenness of a  Problem,  examining  the  Problem,  oroposing  Solution,  testing  proposal,  and solving the problem[94].

Memaham terma epistimologi sebagai cara manusia memperoleh pengetahuan sudah  tentu  amat  menarik.Dengan  aspek  epistimologi  seseorang  mengetahui bagaimana dinamika pemikiran manusia.Aspek ini akan semakin menarik jika kita tarik  dalam  dimensi  hukum  Islam.Sebab,  hukum  Islam  sangat  berbeda  dengan terma  hukum    pada  umumnya.Hukum  Islam  tidak  mengenal  legitimator  dan legislator  sebagaimana  hukum  positif. Hukum  Islam  hanya  mengenal  intrepreter hukum, yaitu manusia sebagai objek dan subjek hukum sekaligus[95].

Perangkat epistimologi hukum pidana Islam, dalam pandangan penulis, sudah seharusnya  mempertanyakan  beragam    "kebenaran-kebenaran  tentatif"  yang melekat  pada  fiqh. Melekatkan  hukum  pidana  Islam  dalam  tata  hukum  positif, berarti  merubah  existensi  struktur  juridis  epistimologis  hukum  pidana Islam. Hukum  pidana  Islam  tidak  lagi  hukum  yang  berasal  dari  normatifitas  teks langit,  epistimologi  hukum  pidana  Islam  harus  dipandang  sebagi  ekspresi  politik penguasa.

Epistimologi  struktur  juridis  hukum  pidana  Islam  liberal  tetap  merujuk  pada  ketentuan  hukum  yang  terdapat  dalam  al-Qur’an  dan  al-Hadits.Akan  tetapi, makna  hukum  yang  terdapat  didalamnya  harus  diperkaya  dengan  konteks  sosial kontemporer ketika al-Qur’an turun.Epistimologi hukum pidana Islam literal yang membangun  konstruksi  epistimologi  hukum  dengan  pemahaman  ortodoksi  dan originalitas teks saja[96], seharusnya diperkaya dengan kemampuan struktur juridis dalam menafsiri, melaksanakan, dan menterjemahkan dalam konteks sosial[97].

Perbedaan  sikap  Islam  liberal  terhadap  epistimologi  hukum  pidana  Islam seharusnya  dipahami  sebagai  bentuk  kebijakan  teks  menilai  perkembangan masyarakat, Nasr Hamid Abu Zayd, salah seorang tokoh yang sering melontarkan kritik epistimologi beranggapan konteks sosial yang terdapat pada masa ayat turun harus  dijadikan  pedoman  penafsiran  terhadap  al-Qur’an.Ayat  al-Qur’an  harus ditafsirkan  kembali  sebelum  ditransformasikan  dalam  konteks  sosial kontemporer[98].

Nasr  Hamid  menegaskan,  konteks  sosial    ketika  turunnya  ayat  merupakan sumbangsih  yang  berpengaruh  terhadap  aspek  epistimologis.setiap  lafadz mempunyai  problem  ontologis  yang  sangat  terikat  dengan  budaya  tertentu[99]. Oleh  sebab  itu,  proses  pewahyuan  al-Qur’an  selama  23  tahun  harus  dianggap sebagai akomodasi teks terhadap dinamika social. Dalam  telaah  relasi  sosial  terhadap  pemaham  teks  keagamaan,  Arkoun menawarkan  epistimologi  yang  lebih  berani  dibandingkan  dengan  pemikiran liberal lainnya.Arkoun beranggapan, kandungan hukum yang terdapat dalam teks keagamaan tidak mungkin dipahami dari aspek historisitas syari’at (al-Aql al-Dini al-Lahuti). Beragam teks keagamaan harus dilekatkan dengan tradisi epistimologis pemikiran  filsafat  (al-Aql  al-Dini    al-Falsafi).Menurutnya,  implantasi  teks terhadap konteks sosial merupakan arus pemikiran abad pertengahan[100].

Kerangka  epistimologis  yang  telah  disampaikan  Arkoun  dan  Hamid,    sudah tentu  menimbulkan  antinomi  yang  sulit  disatukan,  terutama  penyikapan  mereka terhadap  apa  yang  disebut  dengan  teks  dan  konteks.Sikap  mereka  yang  paling sulit  dipahami  adalah  konstribusi  teks  al-Qur’an  dalam  hukum  Islam  dipahami sebagai  suatu  sumber  hukum  yang  terikat  dengan  konteks  sosial.Begitu  juga dengan  konstruksi  epsitimologi  hukum,  al-Qur’an  bersanding  dengan  konteks sosial.Pertanyaan  yang  muncul  sebenanrnya  bukan  pada  kritik  epistimologi mereka,  melainkan  terletak  pada  epistimologi  hukum  pidana  Islam  yang cenderung, jumud dan rigid dalam mengantisipasi perkembangan sosial.

[1] Abdullahi Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation ; Civil Liberties, Human Right and International Law,  (Syracuse:  Syracuse University Press, 1996 ), 134-5.
[2] Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an ; Qira’ah Mu’asirah, (Damsyiq: al-‘Ahali, 1990), 455-7.
[3] Baca  Sambutan  A. Malik  Fajar  (Menag.RI),  Potret  Hukum  Pidana  Islam;  Deskripsi,  Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif dalam Naskah Seminar Nasional, Pidana  Islam  di  Indonesia (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2001 ),  15.

[4] Sebagai negara yang memiliki tradisi konkordansi yang kuat, konsep perumusan dan penemuan hokum memiliki ruang politik yang sangat kuat, yaitu  ruang politik praktis dimana kelahiran hukum  sangat tergantung pada broker  partai politik.Sedangkan penemuan hukum memiliki ruang politik pragmatis dimana  keputusan  hukum  dianggap  “  terwakili  “  oleh  proses  peradilan  formil.Baca,  Sudikno Mertokusumo,  Penemuan  Hukum  :  Sebuah  Pengantar,  (Jogjakarta:  Liberty,  1996),  37.A  Mukti  Arto, Mencari Keadilan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001),  78.Bdk Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa 1988 ),  42
[5] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, (Bandung: Remaja Karya,  1985 ),  18
[6] Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia, 2002),  102-153.
[7] Periksa UU No 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman Pasal 27 Jo.Pasal 24.
[8] Josep Schach, an Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University, 1964),  112-3
[9] Juhaya  S.Praja  et.all,  “Aspek Sosiologis dalam Pembaharuan  Fiqh  Indonesia,”  dalam Epistimolgis Syara’; Mencari Format Baru Figh Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000),  125-6.
[10] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi,  (Jakarta: Djambatan, Vol.1, 1964),  375.
[11] Menurut nalar teologi Islam, Kekuasaan duniawi dan rohani tidak terbagi, yang ada hanyalah kekuasaan  syari’ah  yang  menyeluru  Periksa  E.I.J.Rosenthal,  Political  Thought  in  Medieval  Islam, (Cambridge: Cambridge University Press, 1986 ),  22-3.
[12] Nazih Ayubi, Political Islam, (New York ; Routledge, 1991),  63-4.
[13] Fazlur Rahman, Islam,  (New York ; Winston, 1966 ),  241.
[14] Pemikiran pemisahan shari’ah dengan negara muncul pasca hancurnya kekhalifahan Turki Uthmani dan kegagalan gerakan khilafah di MakkahPeriksa Albert Hourani, Arabic  Thought  in  the  Liberal  Age 1798-1939, (Oxford : Oxford University Press, 1962),  83 
[15] Penjelasan perihal masuknya Islam di Indonesia dapat dilacak dalamAzyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantra Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), 24-36, A.Hasyim, Sejarah  Masuk  dan  Berkembangnya  Islam  di  Indonesia,  (Bandung: Al-Ma’arif, 1989),  7.Harry J.Benda, Bulan  Sabit  dan  Matahari  Terbit,  Islam  Indonesia  Pada  Masa  Pendudukan  Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980),  28, Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah dan Syahron Siddiq, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj.Rohman Ahwan (Jakarta: LP3ES, 1988),  208.
[16] Depag RI.Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Ade Cahya, 1985),  5.
[17] Anthony Reids, the  Making  of  an  Islamic  Political  Discourse  in  South  East  Asia, (Victoria: Monash University Press, 1993),  84-107
[18] Soebardi and Woodcroft, “ Islam in Indonesia,” dalam Raphael Israeli,  The Crescent in the East : Islam in Asia Minor, (London: Curzon Press, 1989),  181.
[19] Periksa.Anwar Harjono, Indonesia  kita  ;  pemikiran  berwawasan  Iman-Islam, (Jakarta ; Gema Insani Press.1995),  121.Ayzumardi Azra, Renaisans  Islam  Asia  Tenggara, (Bandung: Rosda Karya, 1999),  69-71.Mark R.Woodward, Islam in Java, (Tucson: The University of Arizona, 1989),  55
[20] Ahmad Daudy,” al-Fath}}  al-Mubi>n  ‘Ala  al-Muh}y  al-Di@n:al-Syaikh  Nuruddi@n  al-Rani@ri@  “ dalam A.Rifa’i Hasan, ed. Warisan Intelektual Islam di Indonesia, Telaah atas Karya Klasik, (Bandung: Mizan, 1992),  22-7.
[21] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU, (Jakarta: Universitas Yasri, 1999),  69
[22] Ibid.
[23] Moh.Kosnoe, “Perbandingan Antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat”, (Jogjakarta: Kaliurang, Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi , 11-12 Januari, 1982), 2
[24] Secara de  Jure  kompetensi mengadili dimiliki sultan, akan tetapi secara de  fakto, proses peradilan didelegasikan kepada para pembantunya.Dalam hal perkara agama yang mengadili adalah peradilan serambi, sedangkan perkara pidana kompetensi relatif didelegasikan kepada  jaksa  nagara.Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha bina Negara di Jawa Masa Lampau ; Studi Masa Mataram II, Abad XVI-XIX (Jakarta ; Buku Obor, 1985), 124.M.J. Ricklefs, the Seen and Unseen World in Java, (Honolulu: University of Hawai, 1998), 26
[25] Banyak sebutan yang dimiliki raja Islam Indonesia, di Sumatra gelar raja adalah Zil Allah fi al-’Ard. Di Jawa  memakai  gelar,  khalifatullah  atau  khalifatul  rasul.Periksa  Husni  Rahim,  Sistem  Otoritas  dan Administrasi Islam (Jakarta: Logos Bina Ilmu, 1998 ),  35-7.
[26] Marshal G.Hodson, the Venture of Islam. (Chicago: Chicago University Press, 1984 ), Vol.I, 280-1.
[27] Baca gelar raja-raja Islam Jawa dan Sumatra Ibnul Qayyim Isma’il, Kiai  Penghulu  Jawa;  peranannya  di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insan Press, 1997),  36.Hans Antlov dan Sven Cedderoth, Kepemimpinan Jawa : perintah halus pemerintahan Otoriter, ter.Soemitro, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001), xi.Penjelasan gelar raja-raja Mataram periksa  Soedarsono, Wayang Wong;the State Ritual Dance Drama in Court of Jogjakarta, (Jogjakarta: UGM, 1984).
[28] Terlepas dari berbagai penyimpangan yang ada, gejala ini dapat kita ketahui dari akomodasi nilai-nilai Hindu dalam nilai Islam yang dilakukan Sultan Agung Mataram (1613-1645 ).HJ.De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram (Jakarta: Grafiti Press, 1986),  106.
[29] Bernard Schrierke, Indonesia  Sociological  Studies.Vol.II.(The Haque And Bandung: Martinus Nijhoft. 1957),  7-8.
[30] legitimasi  ini  dikenal  dengan  wahyu  keraton  atau  pulung  keraton,  periksa,  Benedict  R.Anderson, Langguage  and  Power  :  Exploring  Political  Cultures  In  Indonesia, (Ithaca and London: Cornel University, 1990),  17.
[31] Sebelum kedatangan Islam di Indonesia telah ada upaya kodifikasi hukum yang dilakukan penulis Hindu dan Budha, Misalnya kitab Ciwacasana  oleh Darmawangsa, Adigama  yang ditulis oleh empu Kanaka.Dan  tata  pemerintahan  Majapahit  yang  dirumuskan  oleh  Gajah  Mada.Djaren  Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1994),  25.
[32] Kitab undang-undang Malaka merupakan kitab kodifikasi hukum Islam pertama yang terdapat di kerajaan melayu, akan tetapi penyusunan kitab ini sebenarnya merupakan petunjuk umum modifikasi upacara  adat dari melayu pra Islam.Panuti Sujiman, Adat  raja    Melayu  ;  a  Critical  Studies    on  Court Ceremonial, (Jakarta: UI.Press, 1984 ),  6-7.
[33] M.B.Hooker, Islam in South-East Asia, (Leiden: E.J.Brill, 1983 ),  162-5.
[34] Verenidge  Oos-Indische  Company  adalah perkumpulan dagang Belanda yang datang ke Indonesia pada awal 1799.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3S, 1985),  15-16.
[35] Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter, (Jakarta: Logos, 2001 ),  36
[36] Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji,  (Jakarta: INIS, 1997 ),   4.
[37] baca Satjipto Rahardjo, Beberapa  pemikiran  tentang  Ancangan  Antar  Disiplin  dalam  Pembinaan  Hukum Nasional,     (Bandung: BPHN dan Alumni, 1985 ),  73
[38] Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat Vol. I.(Jakarta: Pradya Paramita, 1982 ),  9-11.
[39] M.Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1997),  193.
[40] Compendium Indiansche Wetten Bij de Hoven van Bone en Gowa digagas oleh BJ.Clootwijk yang memerintah Sulawesi  tahun  1752-1755,  Ismail  Sunny  “  kedudukan  Hukum  Islam  dalam  sistem  kenegaraan Indonesia “ dalam Amrullah Ahmad SF.Dimensi  Hukum  Islam  dalam  sistem  Hukum  Nasional  Indonesia  : mengenang  65 Tahun Busthanul Arifin, (Jakarta: Gema Insani Press , 1996 ),  131-2.
[41] M.Daud  Ali,  peradilan,.213,  bandingkan  pula  dengan  Ahmad Rofiq,  Hukum  Islam  di  Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1997),  13-14
[42] Ibid, hlm.15, lihat juga Daniel S.Lev, Peradilan Agama  di Indonesia, terj.Zainal Abidin Noeh, (Jakarta: Intermasa, 1980),  213,  juga Kareel Steenbrink, Beberapa  Aspek  tentang  Islam  di  Indonesia  Abad  ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984 ),  167.

[43] Resolusi ini dikenal dengan compendium  freijer,  sesuai dengan nama penggasnya baca  Ahmad Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2000 ),  47.
[44] Selain  buku  Mugharrar,  VOC  menetapkan  kitab  pepakem  Cirebon  untuk  Cirebon.Begitu  juga diterbitkan compendium Bone en Gowa untuk peradilan Sulawesi.Lukito, Islamic,  37.
[45] Ahmad Azhar Basyir, “ Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa “ dalam Mahfud MD, (ed.) Pengadilan Agama dan KHIdalam Tata Hukum Indonesia, (Joqjakarta: UII press, 1993),  6.
[46] penjelasan tentang beragam perubahan politik hukum Belanda  yang terjadi di Nusantara baca, Soetandyo Wignjosoebroto,  Dari  hukum  Kolonial  ke  Hukum  Nasional  (Jakarta ; Rajawali Press, 1995), terutama Bab I.
[47] Belanda menganggap push  factor  dan primum  mobile  pemberontak berasal dari ajaran hukum Islam, terutama  ideologi  kewajiban  Jihad  yang  terdapat  dalam  hukum  Islam.Gobe`e  dan  C.Andriansee, Nasihat-Nasihat  C.Snouck  Horgronje  semasa  kepegawaian  Kepada  Pemerintahan  Hindia  Belanda  1889-1936 (Jakarta: INIS, 1991 ),    740-56.
[48] Depag, Kenang-Kenangan,  9-10.
[49] Masa ini dikenal dengan masa teori Receptie  in  complexu, yaitu teori yang menyatakan hukum Islam diterima sebagai hukum adat.Pendiri teori ini adalah van den Berg (1869-1877).Kaptein dan Dick van Der Meij, Delapan  Tokoh Ilmuwan  Belanda bagi Pengkajian  Islam  Indonesia, terjemah oleh Theresia Slamet (Jakarta: INIS, 1995 ),  1- 4.
[50] Van Apel Doorn, Pengantar  Ilmu  Hukum, (Jakarta ; Pradya Paramita, 1985),  34-42.Bdk.Bustanul Arifin, “ Pemahaman Syari’ah sebagai Hukum “ dalam Suparman Usman, Hukum  Islam,  (Jakarta: Gema Media Pratama, 2000),  VII-X.
[51] Soerojo  Wignjodiporo,  Pengantar  dan  Asas-asas  Hukum  Adat,  (Jakarta:  Gunung  Agung,  1995). 24. Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, (Jogjakarta Liberty, 1985 ),  40
[52] Wignjodiporo, Pengantar , 24.
[53] Politik penerimaan agama sebagai unsur penting recht  finding  berakhir setelah Snouck Hourgronje mengeluarkan teori Receptie, yaitu sebuah teori yang menegaskan bahwa hukum agama dapat dijadikan aturan rakyat apabila hukum agama tersebut tidak bertentangan dengan adat rakyat.Lukito, Adat,39
[54] Sudiyat, Asas,  44.
[55] Baca  peta  kronologis  ”Pembangunan  Hukum  Islam  masa  Belanda”  dalam  Soetandiyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta ; Rajawali Grafindo, 1995), terutama Bab I & II.Daniel S Lev.Politik  Hukum  Hindia  Belanda;    Kesinambungan  dan  Perubahan, (Jakarta: LP3S, 1990 ),  246-309.
[56] Sebagai negara yang memiliki tradisi konkordansi yang kuat.Konsep Perumusan dan penemusan hukum  memiliki  ruang  politik  yang  sangat  kuat,  yaitu    ruang  politik  praktis  dimana  kelahiran hukum    sangat  tergantung  pada  broker  partai  politik.Sedangkan  penemuan  hukum  memiliki  ruang politik  pragmatis  dimana  Keputusan  hukum  dianggap  “  terwakili  “  oleh  proses  peradilan formil.Baca,  Sudikno  Mertokusumo,  Penemuan  Hukum  :  sebuah  pengantar,  (Jogjakarta  ;  Liberty, 1996),    37.A  Mukti  Arto,    Mencari  Keadilan,  (Jogjakarta  ;  Pustaka  Pelajar,  2001),  78. Bdk pendapat  Von  Savigny  tentang  pembuatan  hukum  dalam  Satjipto  Rahardjo,  Hukum  dan Masyarakat, (Bandung ; Angkasa 1988), 42
[57] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, (Bandung ; Remaja Karya, 1985), 18.
[58] Darji  Darmodihardjo  dan  Shidarta,  Pokok-pokok  Filsafat  Hukum,  (Jakarta  ;  Gramedia,  2002), 102-153.
[59] Sudarto,  Hukum  Pidana  dan  Perkembangan  Masyarakat,  (Bandung  ;  Sinar  Baru,  1983),  18-9.Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung ; Alumni, 1986), 170-1.
[60] Hairul Anwar, Konstitusi dan kelembagaan negara, (Jakarta ; Novindo, 1999) 4-8.
[61] Periksa  konstruksi  teori  rites  de  passage  dalam  Richard  Martin,  an  Approachess  Islam  in Religious study, (Tuckson ; The University of Arizona, 1985), 78-86
[62] Sebelum  kedatangan  Islam  di  Indonesia  telah  ada  upaya  kodifikasi  hukum  yang  dilakukan penulis  Hindu  dan  Budha,  Misalnya  kitab  Ciwacasana  oleh  Darmawangsa,  Adigama  yang  ditulis oleh  empu  Kanaka.Gajah  Mada  yang  berisi  tata  pemerintahan  majapahit  yang  dirumuskan  oleh Gajah Mada Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung ; Tarsito, 1994), 25
[63] kitab  ini  sebenarnya  merupakan  petunjuk  umum  modifikasi  upacara  adat  melayu  pra Islam.Panuti Sujiman, Adat raja  Melayu (Jakarta ; UI.Press, 1984), 6-7.
[64] M.B.Hooker, Islam in South-East Asia, (Leiden ; E.J.Brill, 1983), 162-5.
[65] Doorland, WA.Newman.Doorland Illustrated Medical Dictionary, (Philladelphia: WB.Saunders Intemational edition, 1988).
[66] Karena  pentingnya  posisi  penelitian  yang  ialakukan  penulisakan  mencantumkan  sebagian  data yang  ia  gunakan.Muhammad  Abdun  Nasir,  Positifasi  Hukum  Islam  di  Indonesia,  (1970-2000).(Tesis: PPS IAIN Wali Songo, Semarang, 2002), 25-34.
[67] Ibid.
[68] Periksa  Abdul  Ghani  Abdullah,  Pengantar  Kompilasi  Hukum  Islam  Dalam  Tata  Hukum Indonesia, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), 23.
[69] Baca  Bustanul  Arifin,  Pelembagaan  Hukum  Islam  di  Indonesia,  Akar  sejarah,  Hambatan  dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 49.
[70] M.Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Moh.Mahfud MD.(ed.), Peradilan Agama  dan  Kompilasi  Hukum  Islam  dalam  Tata  Hukum  Indonesia,  UII-Press,  Yogyakarta,  1993, hlm.60-61.
[71] Van  Appeldom,  Pengantar  Ilmu  Hukum,  (Jakarta  :  Pradya  Paramitha,  1985),  13-9.Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta : Gramedia, 2002), 197-204.
[72] Stefn Lukes, Three Distinctif  Views of   Power Compared dalam Michael  Hill (ed.), the Policy Process, (Edinburg, Pearson education Limited, 2002), 45.
[73] Abu  Bakar  bin  Hasyim,  “Syari’ah  dan  kodifikasi,  pengalaman  Singapura”,  dalam  Suderman Tebba  (ed.),  Perkembangan  Mutakhir  Hukum  Islam  di  Asia  Tenggara,  Studi  Kasus  Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiaannya, (Bandung : Mizan, 1993), 113
[74] S.Ali  Raza  Naqvi,  “Problems  of  Codification  of  Islamic  Law”,  dalam  M.A.Khan  (ed.), Intemational Islamk Conference, vol.I, (Pakistan, Islamk Research Institute, 1970), 40
[75] Michael  Foucault,  the  Archeology  of  Knowledge  and  the  Discourse  on Language,  (New York ; Pantheon Paper Back, 1982), 7-10.
[76] Gilbert J.Garaghan, A Guide to Historical Method, (tt.Fordam University, 1940), 209-214.Louis Gottschalk,  Mengerti  Sejarah,  ter.Nugroho  Notosusanto,  (Jakarta  UI-press,  1986),  4-6. Dalam posisi  ini,  hukum  Islam  harus  dipandang  sebagai  kontiunitas  sejarah,  oleh  sebab  itu  mengkaji hukum  Islam  dalam  ranah  apapun  harus  memperhatikan  dimensi  sejarah  guna  memamahami bentuk praktek hukum yang pernah dilakukan masyarakat muslim.
[77] Periksa  Ayzumardi  Azra,  Renaisans  Islam  Asia  Tenggara  :  Sejarah  Wacana  dan  kekuasaan, (Bandung : Rosda karya, 1999), 3.
[78] Penjelasan  lebih  lanjut  tentang  taxonomi  kelompok  sosial  terhadap  implantasi  hukum  Islam periksa Bab I.
[79] Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta ; Rake Sarasin, 2001), 57.
[80] Ibid.
[81] Haidar  Baqir,  dan  Zainal  Abidin,  Filsafat  Sains  Islami  ;  Kenyataan  atau  Khayalan  ?  dalam  M Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, ter.Agus Effendi.(Bandung ; Mizan, 1998), 32
[82] Koento  Wibisono  Siswomihardjo,  Hand  out  filsafat  Ilmu  :  Ontologi,  PPS  IAIN  Sunan  Ampel, 2003.1.
[83] E.Uttrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta ; Balai Buku, 1955), 6
[84] Baca penjelasan konstruksi sosial masyarakt dalam Scott Gordon, the History and Philosophy of Social Science, (London and New York, 1991), 1-15.
[85] Dalam  tradisi  keilmuwan  Islam,  kitab  suci  ini  memiliki  beragam  nama    misalnya  al-Kitab,  al-Furqan,  al-Zikr.Subhi  al-Salih}, Mabahith  fi ‘Ulum  al-Qur’an,  (Beirut  :  Dar  al-‘Ilm  al-Malayyin, 1988), 17-21.Akan  tetapi perbedaan nama ini pada hakekatnya berhenti pada pengertian al-Qur’an adalah  firman  yang  diturunkan  Allah  melalui  jibril  kepada  muhammad  dan  menjadi  bukti kenabiannya.‘Abd  Wahb  al-Khallaf,  ‘Ilm  ‘Usul  al-Fiqh,  (Cairo ; Dar  al-Qalm,  1978), 23.‘Abd al-Karim  al-Zaydan,  al-Wajiz  fi  ‘Usul  al-Fiqh  (Beirut  :  Mu’assasah  al-Qurtubah,  1987),  152.‘Abu Zahra,‘Usul al-Fiqh (Cairo : Dar al-Fikr al-‘Arabiy,tt), 76.
[86] Muhammad  Rafiuddin,  the  Meaning  and  Purpose  of  Islamic  Research,  dalam  Muhammad Muqim  (ed.)  Research  Methodology  in  Islamic  Prespective,  (New  Delhi  :  Institue  of  Objective studies,  1994.)  10.Andrew  Rippin,  Muslims  :  Their  religious  beliefs  and  Practice  Vol.2  (London and New York, Routledge,1995), 52
[87] baca  pernyataan  politik  majlis  mujahidin  Indonesia.Dalam  Risalah  Mujahidin,  21  Desember 2000.13.
[88] QS.5.al-Ma’idah, 44-47
[89] QS.2.al-Baqarah, 85.
[90] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales Hingga Chapra (Bandung ; Remaja Rosda  Karya,  2001),  48.Roni  Eli  ‘Alf  (et.al),  Mawsu’ah  ‘A’lam  al-Falsafah,  vol.II  (Beirut  :  Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996),  64-5.
[91] Pada  tahap  ini  kalangan  filosof  sering  menyebut  dengan  Zaman  yunani  Kuno  (6-3  SM.-  6 M).Masa  ini  melahirkan  tiga  corak  objek  kajian  filsafat,  yaitu  Kosmos,  antrophos  dan sophis.Robert  C.Solomon  dan  Kathleen  M.Higgins,  Sejarah  Filsafat  Trans.Saut  Pasaribu (Yogyakarta  ;  Bentang  Budaya,  2000),  58-57.Koento  Wibisono,  Hubungan  Filsafat,  Ilmu Pengetahuan dan Budaya (Makalah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 16.
[92] Ibid., 12.
[93] Tafsir, Filsafat, 23.
[94] Bahm, Science, 17-22.
[95] Penjelasan lebih lanjut periksa kembali BAB II
[96] Leonard Binder, Islamic Liberalism, (Chicago ; the University of Chicago, 1980, 96.
[97] Baca  penjelasan  proses  pembumian  teks  keagamaan  dalam  William  A  Graham,  Qur’an  as Spoken  Word  ;  an  Islamic  Constribution  to  the  Understanding  of  Scripture  dalam  Martin, Approacess,  40-21.
[98] Baca kritik epistimologi Islam Literal dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash ; Dirasah fi ‘Ulum  al-Qur’an,  (Beirut;  al-Markaz  al-Tsaqafi al-Arabi li al-Tiba’ah wa al-Nasr wa al-Tawzik 1996), 102-5.
[99] Ibid., 24-28.Penjelesan konkrit selanjutnya baca Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nash , al-Sultah wa al-Haqiqah ;  al Fikr al-Dini bayn  al-Ma’rifah  wal Iradah al Haymanah, (al-Markaz al-tsaqofi al-Arabi li al-Tiba’ah wa al-Nasr wa al-Tawzig 1997), 16-22.
[100] Muhammad Arkoun, al-Fikr al-‘Usuli wa al-Istihalah al-Ta’mil Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al- Islami, Ter.Hasyim al-Salih.(Beirut ; Dar al-Saqi, 1999), 308-11.

Belum ada Komentar untuk " Hukum Islam di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel